Software Pembiayaan Sistem Syariah LKMA Free Download…!
Masril Koto, Pembela Petani
Usia: 36 tahun Domisili: Agam, Sumbar Kegiatannya: Mendirikan LKMA untuk petani
[caption id="" align="alignright" width="200" caption="Masril Koto, Pembela Petani"][/caption] Tidak lulus sekolah dasar bukan halangan bagi Masril Koto membentuk lembaga keuangan khusus petani. Idenya bahkan diadopsi Departemen Pertanian.
Apa yang dilakukan petani bila tiba-tiba alat bajak sawahnyanya rusak. Ia akan berjalan ke sana ke mari untuk mencari pinjaman yang belum tentu bisa didapat dengan cepat. “Inilah kesulitan ril yang dihadapi petani di lapangan,” ungkap Masril Koto (36 tahun).
Kondisi ini menginspirasi Masril membentuk lembaga keuangan untuk para petani. Menurutnya, lembaga ini perlu karena masalah petani lainnya, seperti soal bibit atau pupuk relative bisa diselesaikan sendiri oleh petani. Untuk pelatihan atau penyuluhan pertanian juga ada dinas pertanian. “Sementara akses modal untuk petani tidak ada,” ujar pria yang tidak lulus sekolah dasar ini.
Sejak 2002, Masril dan teman-temannya sesama petani bergerilya untuk membangun lembaga ini. Mereka mendatangi lembaga terkait untuk mewujudkan ide ini seperti perbankan dan dinas pertanian. “Untuk bertemu dengan lembaga-lembaga ini kami sangat terbantu oleh Yayasan Alumni Fakultas Pertanian Universitas Andalas (AFTA),” ujar Masril. Yayasan AFTA adalah lembaga yang turun ke kenagarian (desa) di Sumatera Barat (Sumbar) memberikan penyuluhan pertanian.
Ide ini sempat muncul dan tenggelam dalam diskusi para petani Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, sehingga bisa teralisasi pada tahun 2006 dengan nama Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis Prima Tani. Setahun berjalan baik, lembaga ini dikunjungi Menteri Pertanian (Mentan) Anton Apriantono.
Kepada Mentan, Masril mengusulkan agar lembaga ini diprakarsai Departemen Pertanian (Deptan) sehingga bisa berjalan dengan lebih baik. Akhirnya ide ini diadopsi Deptan menjadi program nasional dengan mencanangkan pembentukan 10 ribu lembaga keuangan pertanian di seluruh Indonesia. “Saya yang bukan orang sekolahan diundang tim Mentan mendiskusikan hal ini di Jakarta dan di Padang,” ujar Masril mengenang.
Melalui program pengembangan usaha agribisnis pedesaan (PUAP) akhirnya Deptan mengucurkan bantuan pembentukan LKMA melalui gabungan kelompok tani (Gapoktan) sebesar Rp 100 juta per unit. Dana ini diambilkan dari Program PMPN Mandiri di bidang pertanian.
Di Sumbar sendiri berdiri 208 unit yang sampai sekarang berjalan dengan baik. Diluar itu masih ada 50 unit LKMA yang didirikan dengan modal swadaya para petani. “LKMA terkecil saat ini beraset Rp200 juta, sementara yang terbesar hampir mencapai Rp2 miliar,” Masril menjelaskan.
Sangat banyak manfaat yang dirasakan petani dengan berdirinya lembaga ini. Yang utama adalah kemudahan mengakses modal. “Ketika mereka butuh dana bisa langsung meminjam. Termasuk ketika mereka perlu uang untuk biaya sekolah anaknya,” ungkap Masril.
Manfaat lain adalah mengatasi pengangguran anak-anak petani lulusan SMU. Mereka menjadi karyawan di LKMA. Rata-rata tiap LKMA memiliki 5 karyawan. Dengan 200 lebih LKMA di Sumbar cukup lumayan tenaga kerja yang tertampung. Banyak juga karyawan ini yang bisa melanjutkan kuliah dengan meninjam uang dari LKMA dan membayar cicilan pinjaman dari gaji mereka.
Di sisi pendidikan, para petani dan anggota menjadi tahu cara mengelola lebaga keuangan karena semua diikutkan training saat awal pembentukan. LKMA juga jadi sarana penyebaran informasi yang terkait pertanian dengan mengorganisir petani megikuti training pertanian.
Tentu banyak kendala yang dihadapi Masril dalam membagun lembaga ini. Yang utama adalah membangun rasa percaya diri para petani. Pada awalnya mereka merasa tidak mampu untuk membuat dan mengelola lembaga keuangan untuk diri sendiri. “Perlu beberapa kali pertemuan untuk memotivasi mereka.”
Selain itu, ketika lembaga telah terbentuk dan berjalan dengan baik, kerap terjadi gesekan antar anggota. Ada yang ingin jadi pengurus, pengelola dan sebagainya. “Hal ini kami atasi dengan pengaturan yang tegas soal pengurus, pengelola dan badan pengawas. Pengurus adalah wakil pemilik saham, pengelola adalah anak-anak para petani. Sementara badan pengawas diambilkan dari tokoh masyarakat setempat,” jelas Masril.
Hasilnya cukup baik. Satu contoh, LKMA Panampuang Prima di Kecamatan Ampek Angkek, Kabupaten Agm, yang berdiri pada 2008 dengan modal Rp 100 juta, saat ini sudah berkembang menjadi Rp240 juta. “Kami masih kekurangan dana untuk disalurkan. Para petani terpaksa harus antri dulu,” ujar Shelfi, A.Md, manajer LKMA Panampuang Prima.
Masril merasa bangga idenya berjalan baik dan dapat membantu para petani. Tetapi di benaknya masih banyak ide lain yang ingin direalisasikan. Di antaranya membuat asuransi dan dana pensiun untuk para petani. Ia juga ingin membuat skim khusus pembiayaan untuk pertanian organik.
Masril sendiri saat ini tidak sempat lagi mengurus kebun, sawah dan ternaknya. Hari-harinya disibukkan kegiatan memberikan motivasi pembentukkan dan pengelolaan LKMA di berbagai daerah di Sumbar. Dinas Pertanian Provinsi Sematera Selata, Bangka Belitung, Jawa Barat, Bengkulu, dan Bali bahkan mengundang Masril untuk berbagi cerita pengelolaan LKMA. “Banyak jua undangan langsung dari petani,” ujar Masril.
Bank Indonesia Sumbar juga mengundang Masril untuk memberikan training kepada karyawan lembaga keuangan mikro (LKM) tentang pendekatan baru dalam melayani nasabah.
Masril layak menjadi contoh. Dengan semangat bisa yang dimilikinya, ia berhasil meralisasikan idenya membantu para petani, kaumnya sendiri.
http://danamonaward.org/node/178