PUKUL 18.45 WIB, tanggal 30 Desember 2009 mantan Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah wafat. Satu lagi seorang pluralis Indonesia meninggalkan kita.Abdurrahman (ad-Dakhil) Wahid dilahirkan pada tanggal 7 September 1940 di Jombang sebagai putra pertama dan lima bersaudara keluarga K.H Abdul Wahid Hasyim dan Siti Solichah. Nama Abdurrahman diambil Abd ar-Rahman I seorang Kalifah Umayah yang membawa Islam ke Sepanyol dengan gemilang. Gus Dur berasal dari keluarga muslim yang sangat berpengaruh. Kakek dari pihak ayah adalah Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Kakek dari pihak ibu, Bisri Syamsuri, seorang muslim terpelajar pertama yang membuka sekolah bagi perempuan. Ayahnya, Wahid Hasyim seorang aktivis pergerakan Nasional Indonesia dan membawanya sebagai Menteri Agama pertama.Akhir tahun 1949, Gus Dur pindah dari Jombang ke Jakarta karena ayahnya ditunjuk menjadi Menteri Agama. Belajar di Sekolah Dasar KRIS kemudian pindah ke SD Perwari Matraman. Tahun 1954 memulai sekolah di SMP sebagian di Jakarta sebagian di Yogyakarta. Tahun 1957 masuk Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang. Dalam dua tahun ia telah menamatkan pendidikannya yang semestinya empat tahun. Oleh ayahnya, sejak masih di sekolah dasar sudah dianjurkan agar membaca banyak buku dan majalah termasuk buku-buku non-Muslim untuk memperluas pandangannya. Setelah selasai pendidikannya di pesatren, Gus Dur menjadi guru dan kepala sekolah madrasah. Ia juga menjadi wartawan lepas untuk majalah Budaya Jaya dan majalah Horison. Tahun 1963, menerima bea siswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Karena tidak berhasil menunjukkan sertifikat kemampuan berbicara dalam bahasa Arab maka ia ’dipaksa’ mengikuti program remediasi bahasa Arab selama satu tahun. Ia jarang masuk kelas ini. Sebaliknya justru aktif di bidang lain. Tahun 1965 ia mulai kuliah. Namun, merasa kecewa karena sejumlah literatur yang harus dibaca telah dipelajarinya di Indonesia sebelumnya. Gus Dur juga tidak begitu senang dengan cara pembelajaran yang hanya menghapal saja. Sambil kuliah, Gus Dur juga bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Serta aktif dalam organisasi mahasiswa Indonesia di luar negeri. Ia juga menerima bea siswa dari Universitas Bagdad di Iraq hingga 1970. Tidak langsung pulang ke tanah Air, Gus Dur sebaliknya pergi ke Negeri Belanda. Ia ingin belajar di Universitas Leiden. Tetapi, harus kecewa karena pendidikan yang diperoleh di Bagdad tidak diakui. Selanjutnya, ia pergi ke Jerman dan Perancis. Tahun 1971 tiba kembali di Indonesia. Setibanya di Tanah Air, ia bergabung di LP3ES. Gus Dur menjadi kontributor utama majalah Prisma. Ia juga mengunjungi banyak pondok pesantren dan madrasah. Makin lama ia makin di kenal sebagai pengamat sosial. Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, ia juga berdagang kacang dan bahkan juga es lilin. Di Jombang ia menjadi guru serta dosen. Selain itu, ia juga menjadi penulis lepas bagi majalah Tempo dan Kompas. Dari sinilah reputasinya semakin menanjak. Ia sering diundang menjadi pembicara utama di banyak seminar. Ia mulai dikenal sebagai pengamat sosial yang menonjol. Ia aktif dan dikenal diberbagai forum selain melakukan pembinaan dan memimpin NU. Belakangan ia juga mendirikan PKB yang membawanya ke kursi presiden. Di saat menjabat presiden, Istana Kepresidenan diubah menjadi rumah rakyat. Berbagai kalangan masyarakat ‘sempat’ sarapan pagi bersama Gus Dur. Ada juga program tayangan televise ‘minum kopi bersama Gus Dur’. Sementara itu, ada sejumlah guru besar ‘kejawen’ yang mencoba menelaah fenomena kepresidenan Gus dur. Disimpulkan bahwa keberadaan Gus Dur memperpendek masa jahiliah. Sehingga, menjadi lebih cepat masuk ke era jaman yang lebih aman, tentram, dan damai. Sejauh yang dapat ditangkap dari aktivitasnya, ia berpandangan pluralis. Ia mampu mendengarkan pandangan orang lain sambil berdebat gigih. Ia termasuk pelopor kerukunan antar umat beragama baik secara nasional maupun internasional. Di tingkat nasional ia berkawan dengan Romo Magnis, almarhum Romo Mangun Wijaya, M Sobari, Emha, Darmanto Yatman. Ia juga masuk serta aktif mewujudkan perdamaian dunia. Sehingga, ia tampil sebagai pembela kelompok minoritas, yang biasanya menjadi kelompok yang tertindas. Walaupun, terkadang terkesan ‘sangat’ otoriter, ia dikenal sebagai tokoh pengawal demokrasi. Ia juga menjadi salah seorang pendiri Forum Demokrasi. Pemikirannya membuat dunia semakin terbuka. Profesor Greg Burton sangat intensif mempelajari pemikiran Gus Dur. Karena kegigihannya, ia sering pasang badan bagi para kelompok minoritas dalam menghadapi ‘hantaman’ dari kelompok mayoritas. Misalnya, mengijinkan peringatan tahun baru Imlek, membela perkawinan berbeda agama, membela kelompok Ahmadiah. Bahkan, pada suatu waktu pernah mempersoalkan izin pendirian rumah ibadah. Dilihat dalam perjalanan sejarah hidupnya. Tampak ada perubahan sikap antara sebelum dan setelah masuk ke ranah politik. Kalau sebelumnya lebih bersikap sebagai budayawan maka sesudah masuk ke ranah politik lebih terasa warna politikusnya. Walaupun, ia sering tidak mengakuinya. Yang tidak berubah adalah gayanya. Dari dulu jika tidak suka ia langsung ‘ngeloyor’ pergi tanpa beban. Dan, di waktu yang lain ia kembali bergabung juga tanpa beban. Seolah-olah sudah tidak ada perbedaan. Suatu gaya ‘gitu saja khok repot’, gaya khas Jawa Timur-an. Sikap dan pandangan religiusnya sudah sangat kokoh. Sehingga, tidak ada kekhawatiran sedikitpun jika berada di antara aliran yang lain. Sikap ini sama dengan sikap almarhum Fransiskus Xaverius Seda yang wafat tanggal 31 Desember dini hari. Selamat jalan Gus dan Pak Seda dalam menuju Sang Khalik.**
http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=27634#
Boutique Software Programming Corp.
“MENYAMPAIKAN BELASUNGKAWA YANG SEDALAM-DALAMNYA ATAS MENINGGALNYA K.H.ABDURRAHMAN WAHID ( GUS DUR ) SEMOGA MENDAPATKAN TEMPAT YANG TERBAIK DISISI ALLAH SWT DAN YANG DITINGGAL DIBERIKAN KETABAHAN, SELALU MENDAPATKAN RAHMAT, TAUFIQ DAN HIDAYAHNYA”
AMIN