Seperti apa itu Franchise Syari’ah ?
Konsep Franchise yang berkembang sekarang ini sebenarnya cukup bagus, namun nuansa kapitalis masih sangat terasa. Selain itu, juga cenderung lebih menguntungkan Franchisor & cenderung lebih merugikan franchisee.
Secara umum, dalam konsep Franchise biasanya franchisor akan mengenakan kepada franchisee beberapa hal, yaitu: franchise fee & royalty fee. Franchise fee biasanya dibebankan ke franchisee untuk jangka waktu tertentu (biasanya 5 tahun). Sedangkan royalty fee biasanya dihitung dari omzet penjualan. Menurut saya, di sini ada ketidakadilan. Mengapa ? Karena penerapan franchise fee berarti franchisor sudah mengambil untung di depan, sedangkan usaha belum berjalan. Penghitungan royalty fee dari omzet penjualan juga mencerminkan ketidakadilan, karena berarti si franchisor tidak menanggung risiko. Walaupun usaha tersebut rugi, sepanjang ada penjualan, franchisor tetap dapat royalty. Padahal dalam ekonomi Islam kita diajarkan agar selalu menerapkan & menegakkan keadilan dalam berbisnis. Konsep franchise berkembang karena di satu sisi ada pengusaha yang sudah berhasil dalam menjalankan bisnisnya, tetapi kekurangan modal untuk mengembangkan lebih besar lagi. Dan di sisi lain ada pihak yang memiliki modal, tetapi belum/tidak memiliki pengalaman atau keahlian dalam berbisnis di bidang tersebut. Di sinilah dua kepentingan itu bertemu dan bersinergi. Si franchisor (dalam istilah ekonomi Islam biasa disebut Mudharib) dalam hal ini berkontribusi dengan pengalaman, brand, dan sistem bisnisnya. Sedangkan franchisee (dalam istilah ekonomi Islam biasa disebut Shahibul Maal) berkontribusi dengan modal, baik uang maupun aset. Kita bisa menjadikan dua kepentingan tadi tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang tidak melanggar syari’ah & berlandaskan keadilan. Kita sebut saja franchise dengan prinsip syari’ah. Berarti franchise syari’ah memiliki karakteristik utama: 1. Tidak mengenal adanya franchise fee. Hal ini dikarenakan usaha belum berjalan. Setiap keuntungan akan dinikmati setelah usaha berjalan dan ada keuntungan. 2. Royalty fee atau lebih tepatnya bagi hasil diambil dari gross profit atau net profit. Bisa dihitung bulanan, 3 bulanan, atau sesuai kesepakatan. 3. Usaha tersebut menjadi milik bersama. Proporsi kepemilikan saham dan bagi hasil ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Biasanya tergantung kepada karakteristik bidang usahanya. Dan kepemilikan usaha ini bisa dibatasi waktu atau bisa juga selamanya, tergantung kesepakatan. 4. Dalam kerjasama ini, franchisee (shahibul maal) bisa terlibat dalam manajemen usaha ataupun tidak. Catatan: Selain karakteristik2 di atas, kita berasumsi bahwa produk atau jasa yang diperjual-belikan adalah halal.Profit akan bisa dinikmati oleh kedua belah pihak manakala usaha tersebut sudah berjalan dan menghasilkan keuntungan. Jika belum menghasilkan profit, maka kedua belah pihak juga tidak akan mendapatkan apa-apa.
Dengan karakteristik seperti di atas, maka kedua belah pihak (franchisor/mudharib & franchisee/shahibul maal) akan memiliki tanggungjawab yang sama untuk memajukan usaha tersebut. Tidak seperti yang banyak terjadi sekarang, yang lebih banyak merugikan pihak franchisee. Karena pihak franchisor sudah ‘mengambil profit’ di depan, sehingga kadang-kadang menjadi kurang peduli kepada keberhasilan usaha. Dengan konsep ini, pihak franchisor tetap dapat mengembangkan usahanya dengan modal pihak lain, dan orang yang ingin memiliki usaha (franchisee) dapat memulai usahanya tidak dari nol. Dalam ekonomi Islam, transaksi bisnis seperti ini disebut dengan mudharabah atau musyarakah. Wallahu’alam bishshowab. Ingin menerapkannya dalam pengembangan bisnis anda ? Wassalam, Hertanto Widodohttp://sharia-business.blogspot.com/2008/07/franchise-syariah-why-not.html
Software BMT Free Download…!