MENGENAKAN baju koko dan sarung warna gelap, Saifullah tak sedang hendak ke masjid. Warga Karangsono, Pasuruan, Jawa Timur itu melangkah ke kantor Baitul Maal wat Tamwil-Masalahah Mursalah lil Ummah (BMT-MMU) di jalan raya Wonorejo, tempat ia biasa ”bersandar”. Senin pekan lalu itu ia hendak meminjam Rp 300 ribu. ”Untuk melunasi utang,” katanya mesam-mesem.Sebagai lembaga keuangan mikro dengan sistem syariah, BMT-MMU menawarkan sejumlah produk pembiayaan, mulai dari pembiayaan Mudharabah (bagi hasil) hingga Qord al-Hasan (utang). Nasabahnya rupa-rupa, dari petani sampai guru. ”Sebagian besar nasabah kami pedagang pasar Wonorejo,” kata Hilmi, pegawai pelayanan nasabah BMT-MMU.
Berdiri pada 17 Juli 1997, lembaga simpan-pinjam ini mulai dengan modal Rp 13,5 juta, hasil urunan guru dan pengurus Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Motornya adalah Mahmud Ali Zain, salah satu guru dan pengurus pondok. ”Kami ingin memberdayakan ekonomi umat,” kata Mahmud.
Wonorejo dipilih karena daerah ini merupakan area bisnis potensial, pertemuan tiga kawasan: Wonorejo, Sidogiri, dan Rembang. Tapi sayang, kata Mahmud, jurang antara si miskin dan si kaya kelewat lebar. Si miskin sulit mendapatkan akses modal, sedangkan si kaya tak sudi meminjamkan uangnya.
Untuk menjembataninya, diperlukan sebuah lembaga keuangan syariah. ”BMT harus menjadi mediator,” kata Mahmud, yang juga Ketua Asosiasi Bank Syariah Jawa Timur. Dengan kemudahan ini, diharapkan pedagang kecil tak lagi bergantung pada rentenir. ”Dulu hampir separuh pedagang Wonorejo dikuasai rentenir,” kata Dhumairi Noer, Manajer BMT-MMU.
Niat mulia itu tak bertepuk sebelah tangan. Begitu dibuka, BMT-MMU Wonorejo langsung menjaring nasabah. Selain menerjunkan tiga pegawai ke pasar-pasar, yang membuat BMT-MMU dilirik nasabah adalah persyaratan mendapatkan kredit yang dibuat mudah. Napik, misalnya. Meskipun meminjam Rp 30 juta, ia tak perlu menyetorkan agunan. ”Saya hanya menyerahkan surat sewa kios,” kata pedagang bahan bangunan berusia 45 tahun itu.
Berkat jurus ampuh itu, kini aset BMT-MMU Wonorejo sudah Rp 3 miliar. Dua tahun lalu, lembaga ini membeli kantor Rp 300 juta. Mengikuti sukses di Wonorejo, didirikanlah lembaga serupa di Desa Sidogiri, Kecamatan Kraton, pada 1999. Dalam dua tahun, BMT-MMU Sidogiri pun berhasil membangun kantor pusat senilai Rp 600 juta.
Dari kantor Sidogiri inilah semua bisnis BMT-MMU kini dikendalikan. Selain mempunyai 17 unit usaha koperasi simpan-pinjam syariah, sejak 2004 BMT-MMU bahkan menjadi pemilik saham mayoritas BPR Syariah Untung Suropati, Pasuruan.
Selain di jasa keuangan mikro, BMT-MMU juga mengembangkan usaha riil berupa satu unit toko serba ada, satu unit usaha roti, dan satu unit penggilingan padi. Menurut Mahmud, pengembangan sektor riil masih berkaitan dengan ekonomi syariah. ”Untuk usaha roti, kami ingin mewujudkan produk halal,” ujarnya. Dari semua unit binisnya itu, laba bersih yang bisa dijaring BMT-MMU tahun lalu mencapai Rp 1,1 miliar, adapun zakat yang diberikannya senilai Rp 107 juta. Total asetnya kini mencapai Rp 20 miliar.
Sukses di Pasuruan, para pengurus BMT-MMU sejak tujuh tahun lalu mulai melebarkan sayap ke luar kabupaten itu. Bersama para guru yang tergabung dalam Urusan Guru Tugas Pondok Pesantren Sidogiri, didirikanlah Baitul Maal wat Tamwil-Usaha Gabungan Terpadu (BMT-UGT) di kawasan Asem Mulyo, Surabaya.
Pendirian BMT-UGT ini dimaksudkan untuk memperluas jaringan BMT Sidogiri ke luar Pasuruan. Sebab, menurut izin yang diberikan Dinas Koperasi Kabupaten Pasuruan, wilayah kerja BMT-MMU hanya sebatas kabupaten itu. Nah, agar lebih leluasa, permohonan izin mendirikan sejumlah BMT-UGT diajukan ke Dinas Koperasi Jawa Timur, dengan wilayah kerja seprovinsi di ujung timur Jawa itu.
Surabaya dipilih, kata Mahmud, sebagai uji coba memperkenalkan lembaga keuangan mikro model BMT ke kota besar. ”Umumnya BMT berdiri di pedesaan,” kata Mahmud, yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Jawa Timur. Ternyata sambutan publik cukup meriah. Setidaknya BMT-UGT Surabaya kini sudah berhasil menjaring 1.300 penabung, dengan perputaran uang Rp 4 miliar per bulan. ”Nasabah kami adalah pedagang besi rongsokan,” kata Abdul Majid Umar, manajer BMT-UGT.
Setelah di Surabaya, BMT-UGT merambah Jember, Bawean (Gresik), dan Madura. Total kini terdapat 39 cabang, yang terbanyak di Madura (10 cabang). Hingga tahun lalu anggota BMT-UGT sudah 13 ribu orang. Omzetnya Rp 23,6 miliar, dengan keuntungan Rp 1,4 miliar per tahun. ”Pada 2010 kami menargetkan seratus cabang,” ujar Abdul.
Pesatnya pertumbuhan kedua jenis BMT itu sesungguhnya tak lepas dari luasnya jaringan santri dan alumni Pondok Pesantren Sidogiri. Dengan sekitar 8.000 santri dan 20 ribu alumni Pesantren Sidogiri di seluruh Indonesia, BMT-MMU dan BMT-UGT tak kesulitan mendapat nasabah.
Tapi yang terpenting, kata Abdul, daya tarik BMT adalah pelayanannya yang menekankan tiga hal: adil, mudah, dan maslahah (memberikan manfaat). Sebagai contoh, untuk produk pembiayaan jenis Mudharabah (bagi hasil), manajemen BMT-UGT menerapkan pola bagi hasil: 60 persen untuk peminjam modal dan 40 persen untuk BMT-UGT.
Jauh sebelum mengembangkan BMT, bisnis Pesantren Sidogiri sebenarnya diawali sejak l961. Ketika itu ketua umum pondok pesantren, Kholil Nawawie, mendirikan koperasi berupa kedai yang menjual makanan dan kebutuhan sehari-hari sebagai sarana belajar berniaga para santri.
Tapi, siapa sangka, lambat-laun pohon bisnis koperasi ini menjalar di 22 unit usaha, mulai dari pusat perkulakan, toko serba ada, percetakan, kantin, toko buku, hingga bisnis air minum kemasan. Dengan puluhan mesin uang itulah, modal koperasi yang pada 1996 baru Rp 86 juta, dua tahun lalu sudah Rp 3,1 miliar, dengan omzet penjualan sekitar Rp 20 miliar. Sejak 1996, keuntungan koperasi ini bahkan sudah melampaui koperasi Pondok Modern Gontor, yang ketika itu berpredikat koperasi pesantren terbaik se-Indonesia.
Zed Abidien (Surabaya)
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2007/06/04/EB/mbm.20070604.EB124124.id.html