Pengalaman selama krisis ekonomi telah menunjukan kualitas daya tahan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) ditengah rontoknya ‘Konglomerasi Kakap’. Usaha Mikro merupakan bagian terbesar aktivitas ekonomi rakyat kecil di Indonesia mencapai lebih 34 juta unit, sementara usaha kecil mencapai lebih dari 45.000 unit. Meski keberadaanya seringkali diabaikan, dengan sebutan ‘informal’, ‘tidak siginifkan’, dan ‘berkontribusi kecil’ namun sesungguhnya ia merupakan fundamental perekonomian yang riil dari bangsa ini. Dinamika Usaha Mikro & Kecil inilah yang secara kongkret menunjukan realitas ‘kesejahteraan’ mayoritas masyarakat yang sebagian besar hidup di pedesaan.
Meski UMKM – yang digantungi ‘harapan hidup’ banyak rakyat- terus bertumbuh namun dalam perkembangannya mempunyai banyak masalah; dari rendahnya jangkauan pasar untuk menjual produk yang dihasilkannya, kurangnya pelayanan-regulasi-dukungan negara dan aparaturnya, keterbatasan kapasitas sumberdaya manusia untuk mengelolanya, kurang memadainya kecukupan barang input dan teknologi sampai persoalan keterbatasan modal usaha yang tersedia.
Berkaitan dengan pengembangan usaha maka mau tidak mau harus melihat aspek ketersediaan modal. Berbicara pemenuhan kebutuhan modal bagi usaha ini akan berkait langsung dengan realitas Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada. Rata-rata kebutuhan dana untuk usaha mikro adalah Rp 1 juta per unit usaha sementara untuk usaha kecil sebesar Rp 50 juta. Dalam bentuk kelembagaan bank yang bersentuhan langsung dengan UMKM tahun 2005 bisa dijumpai lebih 2.427 BPR, 86 BPRS, 3.694 BRI Unit dan 5.345 Badan Kredit Desa (BKD). Dalam bentuk non-bank; secara formal terdapat Koperasi dengan 1.097 unit dan 1.620 Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) sedangkan yang non-formal yang masyur adalah Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang mencapai 3.037 unit.
Dari data dilapangan harus diakui bahwa BRI Unit Desa sudah cukup ‘menyentuh’ komunitas pedesaan -terutama untuk pelayanan penabungan (saving)-. Namun kelemahan sistem ‘perbankan besar’ telah menyerap tabungan masyarakat pedesaan ke kota dan hanya sedikit dana yang dapat diakses oleh masyarakat pedesaan. Apakah BRI Unit Desa sudah dapat ‘membantu’ kelompok yang paling miskin di akar rumput?
Pertanyaan berikutnya, apakah BRI, BPR, BKD dan LDKP bisa menolong masyarakat miskin yang kelaparan tanpa harus mengembalikan ? Padahal faktanya rakyat yang berada distrata bawah membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan untuk hidup dan kebutuhan darurat. Apakah layak masyarakat muslim disuguhi ‘pinjaman berbunga’ oleh BRI, BPR, BKD, LDKP dan sejenisnya padahal Fatwa MUI telah jelas ?
Revitalisasi BMT
Konsep BMT di Indonesia sudah bergulir sekitar 15 tahun. BMT telah mengalami ujian yang panjang; sebagai bukti dari euforia era kejayaan 8.000 BMT diakhir pemerintahan Orde Baru (proyek politis ?) sampai saat ini, yang tersisa hanya 3.000-an setelah memasuki fase ‘musim gugur’. BMT memiliki keunggulan yang utuh bila dibandingkan dengan LKM yang lain. BMT bisa memfungsikan diri sebagai jasa keuangan, dapat terjun dan bergerak langsung di sektor riil, juga bisa memberikan dana sosial. Fungsi terakhir inilah yang tidak dimiliki oleh LKM yang lain – bahkan terkadang LKM hanya berfungsi sebagai lembaga jasa keuangan ‘pengutip bunga’ dan tidak bergerak disektor riil.
Konsep yang paling utama dari BMT adalah jaminan sosial melalui pengelolaan dana Baitul Maal. Jaminan sosial yang riil adalah subsidi kepada rakyat kecil melalui penghimpunan dana Zakat, Infaq, Shodaqoh serta Wakaf. Selain itu BMT potensial juga mengembangkan dana ‘tabaru’ yang disetor oleh anggota sebagai ‘asuransi bersama’ yang dapat dimanfaatkan dalam kondisi darurat. Konsep ‘asuransi rakyat kecil’ ini merupkan pemanfaatan jaringan ukhuwah diantara anggota untuk dapat saling menanggung, sehingga dapat menjamin distribusi rasa keadilan dan kesejahteraan pada masyarakat.
Bagian penting lain dari BMT adalah Baitul Tamwil (unit Bisnis). Didalamnya BMT berpeluang mengembangkan berbagai jenis usaha; aktivitas Jual Beli melalui akad Murabahah, Ba’i as-Salam, Ba’i al-Istisna; aktivitas Investasi dengan akad Mudharabah dan Musyarakah atau juga Jasa seperti Ijarah, Rahn, Hawalah dll.
Dua keutamaan inilah yang membuat BMT menjadi sebuah institusi yang paling cocok dalam mengatasi permasalahan kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia dewasa ini (Madjid, 2000). BMT mampu memberikan dana & tabaru’ sosial, melayani jasa keuangan dan menggerakkan sektor riil.
Linkage dengan BAZ/LAZ dan Bank Syariah
Untuk ketersediaan dana Baitul Maal, BMT dapat melakukan sinergi dengan Badan Amil Zakat maupun Lembaga Amil Zakat yang sudah ada. Sinergi ini bisa dalam kaitan untuk penyehatan permodalan maupun untuk menyalurkan ‘revolving fund’ yang banyak dimiliki BAZ/LAZ. Contoh yang baik dalam hal ini apa yang sudah dilakukan oleh BMT Binama Semarang, BMT Agawe Makmur Merapi–Yogyakarta, BMT Amanah Sumedang, BMT Bina Dhuafa Bringharjo, BMT Al-Karim Jakarta yang melakukan lingkage dengan LAZ Dompet Dhuafa’. Selain manfaat dana tentu juga pembinaan dan pembenahan aspek manajemen dan operasional. Sinergi ini akan sangat menguntungkan baik bagi BMT maupun BAZ/LAZ. Tinggal bagaimana BMT mendisain program yang baik dan meningkatkan performance kinerjanya.
Hal yang sama dapat dilakukan oleh Baitul Tamwil – BMT. Linkage program dapat dilakukan melalui keterkaitan, kebersamaan, kemitraan atau hubungan dengan Bank Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Dalam hal ini BMT merupakan pihak yang menjadi mediator atau perantara untuk menyalurkan atau meneruskan pembiayaan dari bank syariah kepada UMKM (Susanto, 2004).
Persepsi masyarakat menganggap simpanan di bank lebih aman daripada di BMT. Namun sebaliknya, prosedur pembiayaan di BMT lebih sederhana dan mudah, sehingga masyarakat kecil lebih tertarik meminjam ke BMT namun kurang tertarik menabung di BMT. Bagi BMT keberadaan linkage program akan meningkatkan ketersediaan dana yang akan disalurkan kepada masyarakat khususnya UMKM. Contohnya BMT At Taqwa bekerjasama dengan Bank Syariah Mandiri (BSM) untuk pembiayaan nasabah di atas Rp 10 juta. BMT at-Taqwa merupakan BMT terbesar di Sumatera Barat saat ini, dengan asset sekitar Rp 1,5 miliar, memiliki 1000 nasabah, padahal saat didirikan September 1996 modalnya hanya Rp 6 juta.
Banyak BMT yang berkembang baik dengan aset besar padahal ketika dirintis modalnya kecil. BMT Binaul Ummah-Bogor Selatan, berhasil melipatgandakan asetnya dalam waktu tiga tahun, menjadi lebih Rp 400 juta padahal modal awalnya Rp 5 juta. Begitu juga BMT Darut Tauhid asetnya Rp 2,8 miliar, padahal modal awalnya Rp 250 ribu. Bagi BMT yang belum berkembang perlu melakukan; kajian kelayakan ulang, evaluasi SDM, perbaikan standar operating procedure (SOP), perbaikan manajemen kerja, pengayaan produk, pemantapan strategi dan pengembangan jaringan. Wallahu ‘alam bishawab.
Oleh Abdul Aziz Setiawan
Peneliti pada SEBI Research Center, STEI SEBI
http://www.sebi.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=95&Itemid=33