Berdasarkan pembagian segmen penggunaan teknologi wireless, WiMAX memang ditujukan untuk penggunaan di segmen Metropolitan Area Networks (MAN). MAN biasanya terdiri dari kumpulan LAN, dan meliputi area dalam radius 50 km. Dari segi segmen penggunaan jelas WiMax ditujukan untuk segmen yang sama dengan teknologi kabel tembaga (contohnya DSL).
Masalah yang sering terjadi pada penggunaan teknologi DSL dalam menyediakan akses broadband ke pengguna biasanya sering disebut sebagai “last-mile problems”, atau masalah rentang jarak terakhir antara rumah atau kantor pengguna dan jaringan penyedia layanan broadband. Yang termasuk masalah last-mile bagi pengguna adalah rendahnya laju data broadband akibat terbaginya bandwidth ke banyak pengguna di jaringan. Rendahnya laju data juga dapat disebabkan oleh jauhnya jarak antara lokasi pengguna dengan sentra koneksi penyedia layanan. Masalah last-mile ini juga dapat merugikan penyedia layanan karena potensi untuk memperluas cakupan pelanggan terkadang mendapat kendala belum terpasangnya infrastruktur fisik ke lokasi calon pelanggan. Masalah-masalah last-mile itulah yang coba ditanggulangi dengan kehadiran teknologi WiMax yang nirkabel. WiMax, dikenal dengan standar 802.16, dapat melakukan transfer data dengan kecepatan sekitar 70MBps dalam radius jarak sekitar 30 – 50 km untuk menyediakan akses broadband bagi ribuan pelanggan dari sebuah base station. Infrastruktur wiMax yang tidak tergantung pada infrastruktur kabel yang sudah ada menjadikannya dapat memberikan akses broadband ke daerah-daerah terpencil seperti pedesaan. WiMax menjadi alternatif paling dekat ketersediaannya dibanding harus menunggu perusahaan telekomunikasi memasang teknologi fiber to the home (FTTH) yang mahal. Instalasi Pra-WiMax Pasca Tsunami Aceh Contoh paling dekat dari model pemanfaatan WiMax untuk akses tetap adalah infrastruktur yang dibangun untuk menyediakan solusi distribusi akses Internet di Aceh pasca tsunami. Akibat tsunami, praktis sebagian besar infrastruktur kabel telekomunikasi di pantai barat Aceh mengalami kerusakan parah. Padahal, koordinasi bantuan dan operasi pemulihan pasca tsunami sangat memerlukan tersedianya akses Internet dengan kecepatan tinggi. Tidak mungkin dalam waktu singkat bisa dilakukan investasi ulang dengan menggelar kabel baru untuk mengganti yang rusak. Solusi yang paling mungkin adalah menggunakan infrastruktur nirkabel. Untuk nirkabel, teknologi yang umum digunakan adalah jaringan WiFi yang beroperasi pada frekuensi 2,4GHz. Untuk kasus Aceh, solusi menggunakan WiFi dirasakan kurang memenuhi kebutuhan karena jangkauannya yang sangat terbatas, dan besarnya arus data yang bisa dilewatkan. Untuk instalasi dengan karakteristik daerah seluas pantai barat Aceh mungkin kinerja maksimal yang dapat dihasilkan hanya sekitar 10 MBps, itu pun harus dengan instalasi bertopologi mesh network (jaring). Untuk dapat menangani kebutuhan kota Banda Aceh kemudian dikembangkan ke kota-kota seperti Meulaboh dan Calang, diperlukan solusi yang lebih stabil dan memiliki bandwidth lebih besar. Intel Corporation sebagai salah satu donatur proyek Aceh Telco Relief memilih untuk menyediakan solusi perangkat Wireless Broadband Access(WBA) BreezeACCESS VL produksi Alvarion. Perangkat ini bekerja pada frekuensi 5,25 – 5,35 GHz dan 5,725 – 5,850 GHz. Semua frekuensi dianggap ideal karena bebas dari interferensi perangkat 2,4GHz. Solusi tersebut dikategorikan sebagai pra-WiMax karena sudah mengimplementasikan standar 802.16 tetapi masih belum disertifikasi sebagai perangkat WiMax. Sebagai perangkat Pra-WiMax, WBA juga mendukung akses Internet. Dengan sifatnya yang bisa mengatasi halangan (non-line of sight), base station perangkat ini bisa terletak di luar jangkauan pandangan pengguna akses, atau bisa dipasang di mana pun tanpa harus takut akan terganggu oleh bangunan atau pepohonan. Perangkat BreezeACCESS menggunakan teknologi OFDM, memiliki bandwidth sekitar 27MBps, dan mampu menjangkau jarak sekitar 15 kilometer. Dengan kemampuannya ini, distribusi akses Internet ke seluruh kota banda Aceh dapat dicukupi dengan membangun tiga atau empat base station, sedangkan untuk kota lain seperti Meulaboh dan Calang dibutuhkan hanya satu base station. Semua base station terhubung langsung dengan titik terminasi jaringan kabel serat optik bawah laut di pantai Banda Aceh yang telah dibangun oleh Global Marine Systems Limited (GMSL) asal Inggris. Setiap base station menggunakan interbase backhaul yang redundant sehingga jika pada salah satu jalur koneksi terjadi kerusakan, koneksi tidak akan terputus karena base station itu masih dapat bekerja menggunakan jalur cadangan. Di setiap base station akan dipasang perangkat router yang berfungsi sebagai pengatur bandwidth sekaligus firewall. Pengaturan routing menggunakan Border Gateway Protocol (BGP) sehingga proses routing dapat berlangsung secara dinamis dan otomatis. Selain base station, Intel juga menyiapkan 50 unit CPE (Client Premises Unit, unit yang dipasang di tempat klien) yang akan dipasang di lokasi-lokasi penting, seperti gedung pemerintahan, sekolah, kantor LSM, dan kampus perguruan tinggi. Setiap CPE rata-rata akan menikmati bandwidth lebih dari 2MBps. Setiap CPE kemudian mendistribusikan bandwidth melalui jaringan Ethernet ke sejumlah komputer di setiap lokasi. Untuk akses nirkabel setiap CPE juga dilengkapi dengan sebuah access point, sehingga pengguna dapat mengakses Internet secara nirkabel dari perangkat seperi laptop atau PDA. Terlihat bahwa untuk kasus Aceh, perangkat Wi-Fi tetap digunakan sebagai penunjang dari implementasi teknologi WiMax. Instalasi dan pemeliharaan dari sistem Pra-WiMax tersebut dilakukan dengan kerjasama dari Yayasan Airputih, yang tim teknisnya aktif membantu pemulihan infrastruktur telekomunikasi data dan telah berada di Aceh sejak tanggal 30 Desember 2004. Tim teknis yang terdiri dari para relawan berkeahlian tinggi ini sampai kini masih berada di Banda Aceh dan beberapa kota di pesisir barat Aceh. Selama satu tahun, Yayasan Airputih akan mengoperasikan dan memelihara jaringan nirkabel ini, sebelum akhirnya menyerahterimakannya kepada masyarakat lokal Aceh yang nantinya juga akan dibekali kemampuan teknis. WiMax untuk Perangkat Mobile Standar IEEE 802.16e adalah sebuah amandemen dari spesifikasi dasar IEEE 802.16, dan membidik pasar mobile dengan menambahkan portabilitas dan kemampuan bagi perangkat mobile dengan adapater 802.16e untuk terhubung langsung dengan jaringan WiMax. Standar IEEE 802.16e masih dalam tahap penyusunan, dan diharapkan proses penyelesaiannya dapat berakhir tahun 2006. Salah satu perkembangan terbaru terkait dengan WiMax mobile adalah kesepakatan yang dicapai oleh Intel dan Nokia pada bulan Juni lalu untuk bekerjasama mendukung pengembangan teknologi WiMax mobile, dan akan saling mendukung agar standarisasi teknologi tersebut dapat segera dirilis. Dalam butir-butir kesepakatan tersebut, Intel dan Nokia yang sama-sama tergabung dalam WiMax Forum akan bekerjasama dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan pengembangan perangkat klien mobile Wimax dan infrastruktur jaringan, serta mempromosikan teknologi tersebut di antara operator dan penyedia layanan. Nokia dan Intel mengusung Wimax mobile sebagai teknologi yang dapat digunakan pada layanan data yang melengkapi jaringan 3G yang sudah ada. Walaupun banyak yang memprediksi bahwa WiMax akan menggerogoti pasar 3G (hasil riset TelecomViews bahwa pada tahun 2009 menyebutkan lebih dari 40% pasar broadband nirkabel akan dikuasai oleh WiMax), 3G tidak akan hilang dan kemungkinan besar kedua teknologi tersebut akan hidup secara berdampingan. 3G sudah lebih mapan dibanding WiMax, dan sudah banyak dipasang oleh berbagai negara. Selain itu 3G juga memiliki kelebihan dalam menyediakan mobilitas dalam daerah cakupan yang lebih luas. Teknologi 3G juga tidak stagnan, dan terus berkembang. Tahun ini base station 3G akan diupgrade agar mendukung High Speed Dowlink Packet Access(HSDPA) yang akan menjadi feature standar bagi ponsel 3G mulai tahun 2006. Sementara itu, WiMax memiliki masa depan cerah karena dilihat menawarkan kesempatan bagi operator telekomunikasi alternatif untuk menawarkan layanan broadband dengan harga bersaing untuk pelanggan di daerah metropolitan, dan juga untuk pelanggan di daerah pedesaan atau kota kecil dengan infrastruktur terbatas. Kombinasi dengan teknologi lain seperti VoIP juga dapat menjadi peluang bisnis baru. Yang jelas di masa depan tidak ada vendor nirkabel atau penyedia layanan yang akan mengikat dirinya pada satu jenis teknologi broadband, atau satu platform jaringan. Yang memegang kendali adalah konsumen. Bagi konsumen yang penting adalah bagaimana kebutuhan (berkomunikasi lewat telepon, membaca e-mail, download content, video streaming) dapat dipenuhi. Pertanyaan tentang “bagaimana” kebutuhan itu akan bisa dipenuhi tidak akan menjadi batasan. Aral Melintang bagi WiMax Kendala utama yang menghadang implementasi teknologi WiMax tidak lain adalah masalah kebijakan dan regulasi pemerintah untuk regulasi nirkabel. Rasanya masih belum hilang dari ingatan kita ulasan tentang kisruhnya pengaturan hak lisensi 3G. Kemungkinan keuntungan yang menggiurkan dari penguasaan frekuensi nirkabel boleh jadi akan membuat banyak pihak berebut, dan akhirnya merugikan pengguna yang harus membayar mahal untuk dapat menikmati layanan broadband. Implementasi teknologi Pre-WiMax di Aceh contohnya, sempat dikuatirkan terhambat oleh masalah yang terkait dengan regulasi. Berdasarkan peraturan pemerintah, penggunaan perangkat WBA yang bekerja di frekuensi 5GHz membutuhkan izin frekuensi yang hanya bisa didapatkan oleh operator telekomunikasi. Pengguna juga dikenai biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi yang harus dibayarkan per tahun. Selain itu, bea masuk perangkat dan bea impor lain bisa mencapai 30% dari harga perangkat. Perlu dipikirkan penerapan suatu strategi pengaturan frekuensi nirkabel yang mengedepankan paradigma kepentingan publik sehingga akses broadband menjadi sesuatu yang dapat dinikmati oleh sebanyak-banyaknya masyarakat. Selain masalah regulasi, WiMax juga mungkin akan butuh waktu sedikit lama sebelum dapat digunakan secara luas oleh masyarakat. Saat ini harga perangkat-perangkat WiMax masih sangat mahal karena masih diproduksi secara terbatas. Selain itu, perangkat-perangkat berteknologi WiMax yang sekarang sudah ada di pasaran juga belum melewati proses sertifikasi dari WiMax Forum sehingga belum dijamin kinerja maupun kompabilitasnya satu sama lain. http://klublinux.99grup.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=27