Rubrik Khusus
*hasan basri Indonesia merupakan negara agraris dan memiliki banyak desa. Berdasarkan data, sedikitnya ada 73.000 daerah pedesaan di Indonesia, di mana mayoritas penduduknya menggantungkan hidup pada sektor pertanian, peternakan dan sektor informal lainnya. Masyarakat desa butuh modal kerja agar bisa mengembangkan usahanya. Namun adakah lembaga keuangan yang mengaksesnya? BELUM adanya lembaga keuangan yang menjangkau daerah pedesaan (sektor pertanian dan sektor informal) secara memadai, yang mampu memberikan alternatif pelayanan (produk jasa) simpan-pinjam yang kompatibel dengan kondisi sosial kultural serta ‘kebutuhan’ ekonomi masyarakat desa, membuat konsep Baitul Maal wat Tamwil atau lembaga keuangan mikro syariah dapat ‘dihadirkan’ di daerah perdesaan. Konsep BMT desa merupakan konsep pengelolaan dana (simpan-pinjam) di tingkat komunitas yang sebenarnya searah dengan konsep otonomi daerah yang bertumpu pada pengelolaan sumber daya di tingkat pemerintahan (administrasi) terendah yaitu desa. Dari data dilapangan harus diakui bahwa konsep BRI Unit Desa sudah mampu ‘menjangkau’ komunitas pedesaan-terutama untuk pelayanan penabungan (saving). Kampanye pemerintah agar rakyat menabung efektif dilaksanakan masyarakat pedesaan hampir dua dekade (1970-80’an). Namun kelemahan dari konsep pembangunan masa lalu adalah terserapnya dana dari pedesaan ke ‘kota’ dan hanya sekitar sepertiga saja dana tabungan itu yang dapat diakses kembali oleh masyarakat pedesaan. Konsep BRI Unit Desa ini sebenarnya sudah bisa dijadikan semacam acuan untuk pengembangan daerah (desa), namun apakah BRI Unit Desa sudah dapat mengakses kelompok yang paling miskin di akar rumput? Mungkin secara teknis dan di atas kertas bisa saja. Namun jika dilihat dari karakteristik bisnis perbankan dan karakteristik peminjam, jawabannya masih sulit! Maka dengan kekosongan pada pasar lembaga keuangan untuk tingkat paling miskin ini, institusi yang paling cocok adalah konsep baitul maal wat tamwil (BMT). Kembali ke Konsep Asal Konsep BMT di Indonesia sudah bergulir lebih satu dekade. Konsep ini telah banyak mengalami pembuktian-pembuktian dalam ‘mengatasi’ (untuk tidak mengatakan mengurangi) permasalahan kemiskinan. Konsep yang paling utama dari BMT adalah jaminan/proteksi sosial melalui pengelolaan dana baitul maal. Menurut Kordinator Pendamping LKM/BMT program Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) yang juga Manager BMT Kube Sejahtera 01, Desa Bandar Setia, Percut Sei Tuan, Yusman S.Ag, proteksi sosial itu berupa adanya jaminan sosial yang dapat menjaga proses pembangunan. Jaminan sosial ini dapat berupa insentif ekonomi (subsidi kepada kaum dhuafa-dalam konsep Islam berupa dana Zakat, Infaq, Shodaqoh-ZIS), ataupun berupa insentif sosial yakni kebersamaan melalui ikatan kelompok simpan pinjam ataupun kelompok yang berorientasi sosial seperti majelis ta’lim serta asuransi kesejahteraan sosial yang sejak beberapa tahun lalu telah pula diluncurkan pemerintah melalui LKM/BMT). Proteksi sosial ini menjamin distribusi rasa kesejahteraan dari masyarakat yang tidak punya kepada masyarakat yang punya. Sehingga terjadi komunikasi antara dua kelas yang berbeda. Dalam konsep Islam yang dioperasionalkan di tingkat desa melalui kegiatan BMT, pengelolaan dana sosial (ZIS) ini akan memberikan dampak pada kehidupan sosial ekonomi komunitas. Bagian lain dari BMT adalah Baitul Tamwil (bagian pembiayaan). Dalam konsep baitul tamwil pembiayaan dilakukan dengan konsep syariah (bagi hasil). Konsep bagi hasil untuk sebagian besar rakyat Indonesia merupakan konsep ‘lama’ dan sudah menjadi bagian dari proses pertukaran aktivitas ekonomi terutama di pedesaan. Kelebihan konsep bagi hasil ini adalah adanya profit and loss sharing (bagi untung/rugi) jika dana yang diserahkan ke pengelola BMT digunakan untuk investasi ekonomi. Konsep ini menyebabkan kedua pihak (pengelola BMT dan peminjam saling melakukan kontrol). Dan pengelola dituntut untuk menghasilkan profit bagi penabung dan pemodal. Dalam hubungannya dengan mengatasi masalah kemiskinan, BMT memiliki kelebihan konsep pinjaman kebajikan (qardhul hasan) yang diambil dari dana sosial. Dengan adanya model pinjaman ini maka BMT tidak memiliki resiko kerugian dari kredit macet yang dialokasikan untuk masyarakat paling miskin. Karena sesuai dengan konsep pemberdayaan, maka aktivitas sosial (non-profit oriented) seperti pengorganisasian dan penguatan kelompok di tingkat komunitas (jamaah) menjadi langkah awal sebelum masuk pada aktivitas yang mendatangkan profit (seperti pinjaman/pembiayaan). Dua keutamaan inilah yang membuat BMT menjadi sebuah institusi yang paling cocok dalam mengatasi permasalahan kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia (terutama di daerah pedesaan) dewasa ini. Dua sisi pengelolaan dana (Baitul Maal dan Baitul Tamwil) ini seharusnya berjalan seiring, jika salah satu tidak ada maka konsep itu menjadi pincang dan menjadi tidak optimal dalam pencapaian tujuan-tujuannya. General Manager Lembaga Amil Zakat Nasional (Laznas) BMT, Irwan Aidil, yang bertemu dengan MedanBisnis di Medan dalam sebuah kesempatan mengatakan, secara nasional saat ini baru berdiri sekitar 4.000 BMT. “Sementara di Indonesia memiliki lebih dari 73.000 desa, sehingga potensi pengembangan BMT ini di desa-desa masih sangat terbuka lebar” katanya. Penguatan Jaringan Namun demikian, kata Irwan Aidil, agar BMT-BMT itu dapat tumbuh kuat dan mampu melayani kebutuhan masyarakat pedesaan, diperlukan adanya jaringan sehingga perlu dibentuk Asosiasi BMT ataupun Forum Komunikasi BMT di kabupaten/kota. Di mana salah satu kegiatan Asosiasi ataupun Forum Komunikasi BMT haruslah memprioritaskan pembentukan jaringan dan penguatan BMT. Kemudian, BMT-BMT yang telah kuat bisa membuat semacam ‘kantor kas’ di setiap desa. Sejumlah strategi dapat dilakukan. Strategi pertama bisa dilakukan dengan pentahapan seperti berikut; Tahap pertama, dengan mengembangkan kantor kas BMT. Tahap kedua, dengan mengembangkan kantor kas BMT menjadi BMT Unit Desa (bisa dengan musyawarah jamaah masjid). Dan tahap ketiga mengembangkan BMT Unit Desa menjadi BMT Desa (sudah menjadi milik komunitas ditandai dengan besaran tabungan yang dihimpun dari anggota atau non anggota). Strategi kedua adalah dengan membentuk langsung BMT Desa dengan menggunakan jamaah masjid dan perwiritan. Strategi ketiga dengan mengkonversi Lembaga Keuangan Mikro hasil ‘bentukan’ proyek pemerintah menjadi koperasi berdasarkan bagi hasil (syariah). Strategi ini membutuhkan pewacanaan di tingkat komunitas tentang keuntungan-keuntungan konsep bagi hasil dibandingkan dengan konsep riba. Penyiapan SDM Dalam kaitannya dengan pengembangan ekonomi daerah dan lembaga keuangan mikro (seperti BMT), maka hal yang paling penting adalah investasi pada bidang modal manusia. Pentingnya modal manusia ini disebabkan pada dasarnya hampir semua kegagalan dalam konsep pembagunan disebabkan mismanajemen dan korupsi. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya kualitas SDM Indonesia terutama kualitas spiritualnya! Kelemahan lain adalah kondisi yang tidak kondusif dalam menciptakan iklim kewirausahaan. Iklim usaha yang tidak sehat dan tidak adanya usaha untuk menciptakan level yang sama untuk seluruh pemain (dalam regulasi dan penegakannya ataupun aksesibilitas) menyebabkan tingginya exit rate di kalangan pengusaha di berbagai sektor ekonomi. Masalah lain adalah kemampuan kewirausahaan secara individu (berkaitan dengan kemampuan menciptakan, mereplikasi atau inovasi teknologi)-yang masih merupakan bagian dari modal manusia dan jejaring (modal sosial). Dalam hubungannya dengan penciptaan modal finansial dan modal manusia ini. Maka disinilah diperlukannya Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) sebagai fasilitator dan mediator dalam pembentukan BMT. Peran sebagai fasilitator dan mediator ini juga dapat dimainkan oleh Asosiasi BMT ataupun Forum Komunikasi BMT tadi. Lembaga-lembaga ini dapat melakukan semacam pengkaderan kepada calon-calon pengelola BMT serta memberikan pemagangan-pemagangan ke BMT-BMT yang telah ada dan berhasil dalam pengelolaannya. Dengan demikian, tenaga-tenaga pendamping yang profesional memang mutlak diperlukan dalam pembentukan BMT-BMT ini. Dengan adanya penyiapan atau investasi di bidang SDM (human capital) ini diharapkan pembangunan wilayah dapat bertumpu pada kemampuan sumberdaya lokal. Dan sekali lagi, peranan jama’ah sangat diharapkan dalam penciptaan kondisi yang lebih baik untuk kondisi ummat/generasi yang akan datang. Inilah saatnya, BMT harus merambah ke desa-desa. Karena perannya kini ‘ditunggu’ masyarakat desa.