JAKARTA — Baitulmal wattamwil (BMT) dinilai lebih baik tetap berbadan hukum koperasi. Sehingga, lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) hanya diperbolehkan menghimpun dana pihak ketiga (DPK) dari anggota saja. Hal tersebut berbeda dengan kondisi BMT saat ini di mana mereka menghimpun juga dana dari nonanggota. ”Lebih baik tetap seperti koperasi saja. Saya kira belum tepat BMT menjalankan fungsi perbankan,” kata anggota komisi XI DPR, Dradjad H Wibowo kepada Republika, Selasa, (1/8). Ia berpendapat BMT tidak dapat menjalankan fungsi perbankan karena akan menyulitkan pengawasan. Saat ini sekitar 3.200 BMT di Indonesia. Dengan jumlah sebanyak itu, fugnsi pengawasan akan lebih kompleks. Hal serupa terjadi di Bank Perkreditan Rakyat baik konvensional maupun syariah. Padahal, tambahnya, BPR memiliki struktur permodalan dan manajemen lebih mapan daripada BMT atau koperasi. ”Potensi penyelewenangan dan moral hazard-nya lumayan besar. Disamping melanggar UU Perbankan,” katanya. Bila terjadi penyelewengan, kata Dradjad, maka hal tersebut akan dapat berdampak pada citra perbankan syariah. Pasalnya, tidak ada perbedaan yang jelas antara perbankan syariah dan BMT. ”Sangat mungkin terjadi ketika BMT menghimpun DPK lalu dianggap bank syariah dan menyelewengkannya. Yang rusak kan bank syariah,” katanya. Meskipun demikian, Dradjad mengapresiasi BMT dalam membantu kelompok masyarakat yang unbankable. Namun, kata dia, bila menjalankan kedua fungsi koperasi dan perbankan, aplikasinya di lapangan amat sulit. ”Sebagai akademisi, saya setuju dengan konsep BMT. Tapi, ketika maju ke pelaksanaan, BMT sangat sulit diterapkan. Nantinya yang dirugikan juga masyarakat,” katanya. Terkait RUU LKM, Dradjad menyebutkan, hingga kini, RUU tersebut belum masuk dalam rencana pembahasan komisi XI. Menurut dia, RUU dibuat berdasarkan usulan DPD tersebut kemungkinan masih di Badan Legislatif (Baleg) atau Bamus DPR. ”Hingga kini, belum ada pembahasan mengenai RUU tersebut,” katanya. Dradjad menambahkan, bila BMT tetap ingin menghimpun dana pihak ketiga, ia menyarankan BMT naik status menjadi BPRS. Caranya dengan menggabungkan sejumlah BMT. Dengan demikian, BPRS tersebut masuk dalam kerangka pengawasan Bank Indonesia (BI) sehingga prinsip kehati-hatian tetap terjaga. Menanggapi hal ini, Sekjen Asosiasi BMT Se-Indonesia (Absindo), Andi Estetiono mengaku memahami kendala pengawasan terhadap BMT. Namun, adanya kendala tidak berarti harus meniadakan BMT mengingat fungsinya yang vital. Sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor mikro. ”Kita semua harus mengupayakan karena 90 persen masyarakat kita ada di situ,” kata pria yang juga ketua pengurus BMT Berkah Madani Depok ini. Andi menyebutkan, kehadiran BMT di desa efektif membantu perkembangan ekonomi mikro dan kecil. BMT bisa mengurangi fungsi rentenir yang menjerat masyarakat. Oleh sebab itu, Andi berharap keberpihakan Komisi XI. Salah satunya dengan merumuskan merumuskan mekanisme pengawasan bagi BMT dan LKM dalam RUU LKM. Ia meminta komisi XI untuk memasukkan pasal mengenai pembentukan lembaga pengawas independen bagi BMT dan LKM. Sehingga, kata dia, kemunginan adanya penyalahgunaan LKM dapat dicegah melalui pengawasan tersebut. Terkait badan hukum, Andi menyatakan Absindo sejak semula menyetujui keharusan bagi BMT untuk berbadan hukum koperasi. Itu, lanjutnya, bisa tetap dilakukan sembari menanti lahirnya RUU LKM. ”Saya kira kita harus tetap punya badan hukum karena kita negara hukum,” katanya. Andi juga mengaku sepakat agar penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) oleh BMT hanya dilakukan dari anggota. Meskipun, ia mengakui adanya sejumlah BMT yang menerima simpanan nonanggota. Fakta Angka 3.200 Jumlah BMT aktif di Indonesia sehingga menyulitkan pengawasan. (aru)
www.smecda.com/deputi7/BERITA%20KUKM%202006/REPUBLIKA_02082006.pdf –