Penguatan Hukum BMT

Artikel BMT
Perlunya Penguatan Hukum BMT Oleh Neni Sri Imaniyati Baitul Maal wat Tamwil ( BMT ) dapat dikatakan sebagai pelaku ekonomi baru dalam kegiatan perekonomian nasional. Namun, kontribusi BMT terhadap gerak roda ekonomi kecil sangat nyata. BMT menjadi penggerak pembangunan dalam menyantuni masyarakat miskin. BMT menfokuskan target pasarnya pada bisnis skala kecil, seperti para pedagang kecil yang kurang menarik bagi bank. Amin Azis menjelaskan bahwa BMT dengan baitul maal-nya melaksanakan misi kemanusiaan melalui penghapusan kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Sedangkan dengan baitut tamwil-nya mengembangkan usaha produktif, antara lain melalui kegiatan menabung dan kegiatan utama BMT antara lain memberikan modal kerja pada anggotanya. Dengan demikian, BMT memiliki karakteristik yang unik, karena selain memiliki fungsi sebagai badan usaha, juga berfungsi sebagai badan sosial. Pada tahun 2000, BMT terdaftar sebanyak 2.938 di 26 provinsi. Dari jumlah itu, 637 (21,68%) di Jawa Barat, 600 (20,42%) di Jawa Timur, 513 (17,46%) di Jawa Tengah, dan 165 (5,61%) di DKI Jakarta. Pada bulan Juni 2006 menurut Direktur Eksekutif Pinbuk Aslichan Burhan, jumlah BMT di Indonesia mencapai 3.200 BMT dengan aset Rp 2 triliun. Dalam perjalanannya, banyak BMT tumbuh dengan pesat. Namun, ada pula BMT yang kolaps atau gulung tikar. Di Jawa Barat, BMT umumnya berlokasi di Priangan. Menurut Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan, Jawa Barat sedikitnya memerlukan 5.700 BMT. Idealnya, satu desa memiliki satu BMT karena jumlah desa di Jabar mencapai 5.700 desa. Potensi Jawa Barat untuk pengembangan BMT sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pondok pesantren yang mencapai 4.761. Dari jumlah tersebut 1.266 telah memiliki koperasi. Dilihat dari potensi sumber daya, jumlah kiai/ustaz mencapai 41.634 orang, dan jumlah santri mencapai 887.900 orang. Namun demikian, perkembangan lembaga keuangan mikro syariah di Indonesia –khususnya BMT– belum diikuti dengan pengaturan/landasan hukum yang memadai. Eksistensi BMT tidak dapat dilepaskan dari masalah regulasi, pembinaan, dan pengawasan BMT. Oleh karena itu, pembinaan dan pengawasan BMT sebagai lembaga keuangan yang memiliki risiko yang sangat tinggi merupakan hal yang sangat penting. Faktor hukum dan regulasi dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain dilihat dari bentuk badan hukum dan norma-norma yang digunakan. Bentuk badan hukum BMT di Jawa Barat bisa dilihat di tabel berikut: Norma-norma yang digunakan BMT saat ini sangat beragam. Pertama, aspek kelembagaan BMT didasarkan pada Surat Menteri Dalam Negeri RI cq. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah (BANGDA), tanggal 14 April 1997 Nomor 538/PKK/IV/1997 Tentang Status Badan Hukum untuk Lembaga Keuangan Syariah jis Surat dari Menteri Dalam Negeri RI cq. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah (BANGDA) jis UU No. 25 Tahun 1992 tentang Koperasi. Kedua, norma-norma yang digunakan dalam menetapkan keanggotaan, menentukan hak serta kewajiban masing-masing anggota BMT, tidak mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengatur koperasi, akan tetapi lebih banyak merujuk pada hukum Islam tentang syirkah, Perseroan Terbatas, Perbankan, Persekutuan Firma, dan Persekutuan Komanditer (sebagaimana yang diatur dalam KUHD). Ketiga, norma berkaitan dengan aspek modal usaha, BMT memiliki struktur modal yang sesuai dengan UU No. 25 Tahun 1992 jo. PP No. 9 Tahun 1995. Keempat, norma berkaitan dengan aspek simpanan anggota BMT mengacu ke UU No. 25 Tahun 1992, yaitu simpanan pokok dan simpanan wajib. Terdapat satu jenis simpanan, yaitu simpanan sukarela/tabungan meskipun sesuai dengan UU No. 25 Tahun 1992, akan tetapi lebih banyak mengacu pada ketentuan UU Perbankan tentang simpanan. Penarikan simpanan sukarela dalam bentuk wa`diah lebih sesuai dengan Pasal 1725 KUH Perdata yang mengatur tentang perjanjian penitipan, ketentuan wa`diah dalam hukum Islam dan fatwa Dewan Syari`ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan. Simpanan mudharabah sesuai dengan Pasal 1759 jo. Pasal 1760 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam pakai habis, ketentuan mudharabah dalam hukum Islam dan Fatwa Dewan Syari`ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (qiradh). Selain itu, terdapat pula jenis simpanan yang disebut simpanan khusus (simpanan pokok khusus, simpanan utama/saham), yang lebih banyak mengacu pada ketentuan-ketentuan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan ketentuan dalam Hukum Islam yang mengatur tentang musyarakah. Tampak bahwa BMT masih menyimpan banyak persoalan hukum yang harus menjadi perhatian pakar hukum. Sebagai institusi/lembaga yang baru tumbuh dan berkembang di Indonesia, perlu ditelaah apakah diperlukan penguatan hukum terhadap BMT. Hukum ekonomi memanfaatkan dua metode pendekatan, yaitu pendekatan makro yang mengkaji lembaga tersebut dari aspek hukum publik apakah lembaga tersebut secara filosofis, yuridis, dan sosiologis membawa manfaat, keadilan, dan kepastian ekonomi pada umumnya? Dan pendekatan mikro yang mengkaji dari aspek hukum privat, yaitu mengenai hubungan hukum para pihak. Kajian melalui pendekatan makro mengkaji lembaga tersebut dari aspek hukum publik, yakni aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis. Pendekatan mikro mengkaji dari aspek hukum privat, yaitu mengenai hubungan hukum para pihak. Secara filosofis, ekonomis, dan sosiologis, BMT telah diterima masyarakat, namun secara yuridis masih terlihat inkonsistensi dan tumpang tindih. Demikian halnya telaah melalui pendekatan mikro, yakni hubungan para pihak dan hubungan dengan pihak ketiga. Oleh karena itu, agar BMT dapat tumbuh dan berkembang diperlukan penguatan hukum melalui peraturan perundang-undangan. Beberapa alternatif yang dapat dilakukan, yaitu melalui peraturan khusus (special law). Pengaturan khusus ini mengatur BMT dalam peraturan tentang Lembaga Keuangan Mikro seperti yang sekarang sedang dibahas di Departemen Keuangan RI. Alternatif lain melalui pengaturan sendiri (self-regulation), yaitu pengaturan yang khusus mengatur tentang BMT. Pengaturan yang mengatur BMT secara tersendiri akan mengatur secara detail tentang BMT, mulai dari bentuk badan hukum, kepemilikan, modal, jenis kegiatan usaha, organ BMT, pembinaan dan pengawasan, serta likuidasi dan pembubaran BMT. Terakhir, pendekatan campuran (hybrid), yaitu memasukkan aspek syariah ke dalam UU Koperasi, dengan demikian harus dilakukan revisi terhadap UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.*** Penulis, dosen Fakultas Hukum Unisba, sedang menyelesaikan Program S3 Penulis:

Software BMT Free Download…!

Share this

Leave a Reply

Your email address will not be published.