Dasar-dasar Koperasi: Implementasi dalam Manajemen

Artikel BMT

Pengertian Koperasi tradisional atau Hanel (1985) menyebutnya dengan “Koperasi Historis”, berkembang di Eropa di akhir abad 18 sampai 19. Pertumbuhannya berdasarkan naluri solidaritas kelompok atau suku bangsa tertentu. Dengan menggunakan pendekatan pengelolaan sederhana namun berhasil menanamkan prinsip pemanfaatan bersama atas sumberdaya produksi yang tersedia. Akan tetapi dalam perkembangan masyarakat memiliki karakteristik dinamis. Dinamika dan ciri kompetitif ternyata kurang terwadahi dalam Koperasi tradisional. Koperasi tidak dapat tumbuh dalam “kerangka dan suasana” tradisional seperti masa lalu. Persaingan telah menuntut tersedianya rancangan strategi-strategi  dan kiat-kiat tertentu agar dapat eksis dan turut terlibat dalam kancah persaingan yang semakin ketat. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang cukup  tentang faktor-faktor atau variabel-variabel yang terkait dengan keberhasilan dan kegagalan koperasi. Strategi-strategi alternatif ini membutuhkan hipotesis-hipotesis, teori-teori, dalil-dalil serta informasi lain yang teruji secara baik. Sumber utama pengetahuan yang perlu digunakan dalam membangun sebuah institusi adalah pengetahuan “teoritikal” yang dapat menerangkan berbagai realitas empirikal. Reformasi dan reaktualisasi pemikiran tentang koperasi terletak pada nilai instrumental yang operasional. Secara normatif perubahan itu hampir tidak mengusik eksistensi koperasi sebagai institusi penghimpun kekuatan mandiri. Hal itu dapat ditelaah pada batasan koperasi dari berbagai aliran yang ada. Para pakar dan peneliti serta ketentuan perundang-undangan nasional telah menggariskan batasan berdasarkan cara pandang dan kepentingan yang dihadapi, порно видео namun makna dasar koperasi tidak banyak berubah. Pendapat mengenai definisi koperasi dikemukakan oleh para pendukung pendekatan esensialis, institusional, maupun nominalis (Hanel, 1985,27). Pendekatan esensialis, memandang koperasi atas dasar suatu daftar  prinsip yang membedakan  koperasi  dengan  organisasi lainnya. Prinsip-prinsip ini di satu  pihak  memuat  sejumlah  nilai, norma, serta tujuan nyata yang tidak harus sama ditemukan pada semua koperasi. Dari pendekatan esensialis ini, International Cooperative Alliance (ICA) telah merumuskan pengertian koperasi atas dasar enam prinsip pokok (Abrahamsen, 1976,3),  antara lain: 1. Voluntary membership without restrictions as  to race, political views,and religious beliefs; 2. Democratic Control; 3. Limited interest or no interest on shares of stock; Earnings  to  belong  to  members,  and  method   of  distribution to be decided by them; 4. Education of members, advisors, employees,  and  the public at large; 5. Cooperation among cooperatives on  local,  national,  and international levels. Pendekatan institusional, dalam mendefinisikan koperasi berangkat dari kriteria formal (legal). Menurut pendekatan ini: “Semua organisasi disebut koperasi jika secara  hukum dinyatakan  sebagai  koperasi,  jika  dapat  diawasi  secara teratur dan jika dapat mengikuti prinsip-prinsip koperasi”. (Munkner, 1985,18). Pendekatan nominalis, dengan pelopornya para ahli ekonomi koperasi dari Universitas Philipps-Marburg, merumuskan pengertian koperasi atas dasar sifat khusus dari   struktur dasar tipe sosial-ekonominya. Menurut pendekatan nominalis,  koperasi dipandang sebagai organisasi yang memiliki empat unsur utama (Hanel, 1985,29), yaitu: 1. Individual are united in a group by-at least one common interest or goal (COOPERATIVE GROUP); 2. The individual members of the cooperative  group  intend to pursue through joint actions and mutual support, among other, the goal  of  improving  their economic and social situation (SELF-HELP OF  THE COOPERATIVE GROUP); 3. The use as an instrument for that purpose a jointly owned and   maintained enterprise (COOPERATIVE ENTERPRISE); 4. The cooperative  enterprise  is charged with the perfomance of the (formal) goal or task to promote the members of the cooperative   group through offering them directly such goods and services,   which  the  members  need for their individual economics – i.e. their houshold (CHARGE OR PRINCIPLE  OF MEMBER PROMOTION). Penjelasan itu memberikan petunjuk bahwa dalam  organisasi koperasi melekat secara utuh lima unsur, yaitu: (a) anggota-anggota  perseorangan, (b) kelompok koperasi,  yang  secara  sadar bertekad  melakukan usaha bersama dan saling membantu demi perbaikan kondisi ekonomi dan sosial mereka, melalui, (c)perusahaan koperasi, yang didirikan secara permanen dimiliki  dan  dibina secara bersama sehingga tercipta suatu,  (d) hubungan  pemilikan antara  kelompok koperasi dan perusahaan koperasi yang mengarahkan adanya promosi anggota atau hubungan usaha yang saling menunjang antara kegiatan  ekonomi  anggota  individu dengan perusahaan koperasi. Berkaitan dengan keempat unsur tersebut, Hanel (1985,30) menjelaskan,” Thus, cooperative are also characterized to be autonomous business organizations, which are owned  by the members and charged with  the  promotion of their members in their role as customers of the  cooperative enterprise. Dalam organisasi  koperasi terdapat prinsip atau norma identitas ganda, anggota di samping sebagai pemilik sah, juga adalah pemilik atau pelanggan jasa yang diusahakan oleh koperasi. Di samping itu, dalam organisasi koperasi terdapat dua perusahaan  (double nature), yaitu perusahaan, atau kegiatan ekonomi, anggota secara individu dan perusahaan koperasi yang dimiliki anggota secara bersama-sama. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa koperasi dilihat dari substansinya adalah suatu sistem sosial-ekonomi, hubungan dengan  lingkungannya bersifat terbuka, cara kerjanya adalah suatu sistem yang berorientasi pada tujuan, dan pemanfaatan sumber dayanya adalah  suatu organisasi ekonomi yang unsurnya mencakup: anggota-anggota perseorangan,  perusahaan atau kegiatan ekonomi anggota secara individu, kelompok koperasi, perusahaan koperasi, dan hubungan pemilikan serta hubungan usaha atau pelayanan perusahaan koperasi kepada para anggotanya. Dari penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa koperasi memiliki ciri-ciri yang khas sebagai sebuah organisasi. Koperasi lahir dengan memiliki tiga unsur pokok yakni, (a) kerjasama dua orang atau lebih, (b) tujuan yang akan dicapai, (c) kegiatan yang dikoordinir secara sadar. Pendekatan nominalis dalam merumuskan pengertian koperasi, di  samping telah dapat menunjukkan ciri-ciri esensial  koperasi  yang dapat  dikaji  secara  ilmiah,  tetapi  juga telah dapat memberikan penjelasan yang cukup  rinci  mengenai  perbedaan koperasi dengan organisasi ekonomi lain yang bukan koperasi. Maman (1989,19) membedakan koperasi dengan organisasi usaha non-koperasi, dengan melihat lima (5) hal yakni: (a) sifat keanggotaan, (b) pembagian keuntungan, (c) hubungan personal antara organisasi dan manajer, (d) keterlibatan pemerintah dalam penciptaan stabilitas dan operasi, dan (e) hubungan organisasi dan masyarakat. Peran anggota merupakan indikator penting dalam mendefinisikan koperasi secara universal dengan tidak dibatasi oleh visi politis maupun kondisi sosial ekonomi kelompok masyarakat di mana koperasi itu hidup. Kedua  peran  tersebut  menjadi  kriteria   identitas (identity criterion) bagi koperasi. Peran atau  identitas ganda (dual identity) koperasi menunjukkan bahwa  yang melakukan kerja sama (cooperation) adalah manusia atau anggotanya. Baik pada saat mengelola maupun  pada  saat memanfaatkan hasil usaha koperasi. Peran unik dari anggota inilah yang dijadikan acuan dalam mengenali sistem koperasi  di berbagai negara. Roy (1981,6) dalam definsinya meamasukan peran anggota dalam usaha koperasi adalah:“…a business voluntarily organized, operating at cost, which is owned, capitalized and controleed by member-patrons as ussers, sharing risk and benefits proportional to their participation.” Demikian pula, pendapat Packel, sebagaimana  dikutip  Abrahamsen (1976,5) yang menyatakan koperasi adalah: “… a  democratic association of persons organized to  furnish  themselves  an economic service under a plant that  eliminates  entrepreneur profit  and  that  provides  for  subtantial  equality    in ownership and control”. Hal serupa juga secara implisit dinyatakan oleh Munkner (1985),  Ropke (1989) dan Chukwu (1990). Walaupun bentuk implementasi peran anggota menurut beberapa ahli koperasi cenderung mengalami perubahan. Seperti dikemukakan oleh Herman (1995,66) setelah mengkaji artikel-artikel, “Trends in Co-operative Theory” (Wilson), “Homo Oeconomicus and Homo Cooperatives in Cooperative Research” (Weisel), “Basic Cooperatives Values” (Laurikari), maupun “Cooperative Today” (Book), menyimpulkan bahwa belakangan ini telah terjadi perubahan peran anggota seiring dengan tersisihnya demokrasi oleh ekonomi. Perubahan peran sentral dari anggota ke manajemen tidaklah mengubah  pentingnya prinsip ganda anggota dalam organisasi. Karena pada dasarnya perubahan itu terletak pada tataran instrumental bukan pada taran substansi. Mengenai hal itu dapat dikaji pendapat Dulfer (1985) mengenai perubahan struktur koperasi secara radikal. Dikatakan bahwa perubahan struktur koperasi akan mengikuti pola hirarkis (a) koperasi tradisional, (b) koperasi berorentasi pasar, dan (c) koperasi yang terintegrasi secara vertikal dan horizontal. Setiap tingkat memiliki konsekwensi implementasi manajemen yang berbeda. Lebih khusus perbedaan tersebut terletak pada posisi anggota dalam pengelolaan organisasi. Koperasi Indonesia Pada kasus Indonesia, koperasi sebagai badan usaha yang dimiliki dan dimanfaatkan oleh anggota,  di tegaskan dalam Undang-undang nomor 25 tahun 1992. Batasan koperasi dalam perundangan  ini memiliki makna yang lebih tegas dan jelas dibanding batasan lama, dalam Undang-undang No.12 tahun 1967, yang memungkinkan terciptanya pemikiran ganda tentang koperasi. Undang-undang nomor 25 tahun 1992 mengakomodasi perubahan tataran instrumental seperti dengan diaturnya “Pengelola” atau manajer dalam pengelolaan organisasi dan usaha koperasi. Koperasi seperti badan usaha lainnya memiliki keleluasaan gerak dalam menjalankan usaha selama tidak menyalahi ketentuan perundang-undangan dan idielogi normatif yang ada. Usaha merupakan proses rasional yang akhirnya bermuara pada penciptaan keuntungan (profit), akumulasi keuntungan tersebut digunakan untuk melayani kebutuhana anggota. Dengan demikian, usaha koperasi dapat dilaksanakan selama memperhatikan dua hal pokok, yakni: (1) Usaha yang dijalankan selaras dengan kebutuhan anggota dan sejauh mungkin mengandung unsur pemberdayaan (empowering) bagi usaha anggota. (2) Keuntungan usaha dialokasikan untuk anggota selaras dengan jasa yang diberikan anggota pada usaha koperasi. Perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat selain anggota sesuai dengan tujuan koperasi Indonesia, seperti tertuang dalam pasal 3 Bab II Undang-undang nomor 25 tahun 1992, yakni, memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pelaksanaan organisasi dan manajemen koperasi  didasari oleh prinsip koperasi, prinsip tersebut berisi, (a) keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, (b)  pengelolaan dilakukan secara demokratis, (c) pembagian sisa hasil usaha (SHU) dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota, (d) pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, (e) Kemandirian. Di samping prinsip yang mengikat intern organisasi, koperasi memiliki prinsip lain yang berkaitan dengan ekstern organisasi yakni, (a) pendidikan perkoperasian, (b) kerjasama antar koperasi. Pembahasan di atas menunjukkan koperasi dapat dilihat sebagai unit usaha (dimensi mikro) dan sistem ekonomi (dimensi makro). Dalam dimensi mikro, koperasi memiliki kewajiban dan hak yang sama dengan pelaku ekonomi lainnya. Dalam dimensi makro, koperasi adalah faham atau idielogi yang harus menjadi panutan bagi pelaku ekonomi nasional. Pemahaman tentang kedua hal itu dapat menghindarkan diri dari pemikiran yang keliru terhadap konsep “Koperasi sebagai soko guru ekonomi”. Mengenai kedua dimensi itu dapat di pisahkan dan dibedakan dengan menunjuk aspek-aspek seperti pada tabel 1. Dimensi mikro mengandung konsekuensi, koperasi sebagai organisasi ekonomi yang memiliki keharusan menangani usaha berdasarkan prinsip efisiensi, efektivitas dan produktivitas. Hanya dengan itu koperasi tetap hidup dan mampu mengembangkan diri melalui akumulasi kekayaan (asets) sebagai prasyarat untuk memberikan pelayanan lebih baik bagi anggota. Khususnya dalam pemanfaatan faktor-faktor produksi yang persediannya terbatas. Dalam konteks ini koperasi memiliki berbagai kesamaan dengan badan usaha lainnya. Selaras dengan tujuan koperasi, maka prinsip efisiensi dan efektivitas untuk mewujudkan produktivitas yang tinggi harus dipadukan dengan optimasi pelayanan kepada usaha dan kesejahteraan anggota.

Kriteria Dimensi Mikro Dimensi Makro

KriteriaArti Identitas Pelaku Implikasi Dimensi MikroKoperasi sebagai badan usaha. Anggota berperan sebagai pemilik dan pelangan. Anggota Pengurus Pengawas Efisien, efektip dengan produktivitas yang tinggi, untuk pelayanan yang optimal bagi anggota. Dimensi MakroKoperasi sebagai sistem ekonomi. Demokrasi ekonomi. BUMN BUMS BUMK Sistem ekonomi yang bernuansa kemanfaatan bersama/ kerakyatan.

Sistem ekonomi yang bernuansa kemanfaatan bersama/ kerakyatan. Koperasi sebagai sistem sosial merupakan gerakan yang  tumbuh berdasarkan kepentingan bersama.  Ini mengandung makna dinamika koperasi harus selaras dengan tujuan yang telah ditetapkan bersama. Semangat kolegial perlu dipelihara melalui penerapan musyawarah dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks itu, koperasi merupakan organisasi swadaya (self-helf organization) akan tetapi tidak seperti halnya organisasi swadaya lainnya, koperasi memiliki karakteristik yang berbeda (Hanel,1985,36). Mengkaji koperasi sebagai badan usaha dan organisasi swadaya adalah untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang posisi manusia dalam konstelasi sistem koperasi. Koperasi menempatkan faktor “manusia” sebagai elemen penting dalam sistem keorganisasian. Manusia anggota merupakan sentral pengembangan yang berposisi penting dalam proses peningkatan kesejahteraan. Manajemen Koperasi Tugas manajemen koperasi adalah menghimpun, mengkoordinasi dan mengembangkan potensi yang ada pada anggota sehingga potensi tersebut menjadi kekuatan untuk meningkatkan taraf hidup anggota sendiri melalui proses “nilai tambah”. Hal itu dapat dilakukan bila sumberdaya yang ada dapat dikelola secara efisien dan penuh kreasi (inovatif) serta diimbangi oleh kemampuan kepemimpinan yang tangguh. Manajemen koperasi memiliki tugas membangkitkan potensi dan motif yang tersedia yaitu dengan cara memahami kondisi objektif dari anggota sebagaimana layaknya manusia lainnya. Pihak manajemen dituntut untuk selalu berpikir selangkah lebih maju dalam memberi manfaat dibanding pesaing hanya  dengan itu anggota atau calon anggota tergerak untuk memilih koperasi sebagai alternatif yang lebih rasional dalam melakukan transaksi ekonominya. Rumusan  manfaat bagi setiap orang akan berbeda hal itu  tergantung kepada pandangan hidup terhadap nilai manfaat  itu  sen-diri. Motif berkoperasi bagi sementara orang adalah  untuk memperoleh nilai tambah ekonomis seperti, me-ningkatnya penghasilan atau menambah kekayaan (aset) usaha. Tetapi bagi sebagian orang menjadi anggota koperasi bukan karena adanya dorongan materi atau alasan finansial akan tetapi semata-mata  untuk kepuasan batin saja atau alasan ideal lainnya. Untuk menjaga momentum pertumbuhan usaha maupun perkembangan koperasi pada umumnya pihak manajemen perlu mengupayakan agar  koperasi tetap menjadi alternatif yang menguntungkan, dalam arti lain manajemen koperasi harus mampu mempertahankan manfaat (benefit) koperasi  lebih besar dari manfaat yang disediakan oleh non-koperasi. Atau koperasi harus selalu mengembangkan keunggulan kompetitif dan komparatif  dalam sistem  manajemen yang  dikembangkannya. Perangkat organisasi koperasi sebagaimana diatur dalam pasal 21 Undang-Undang Perkoperasian Nomor 25 tahun 1992 terdiri atas, (a)  rapat anggota, (b) pengurus, dan (c) pengawas. Ketiganya dalam organisasi koperasi memiliki tugas mengembangkan kerjasama sehingga membentuk suatu  kesatuan sistem pengelolaan. Untuk menuju  ke  arah  itu  diperlukan  komitmen unsur-unsur  tersebut  terhadap sistem kerja yang telah disepakati bersama. Rapat anggota merupakan kolektivitas  suara  anggota yang merupakan pemilik organisasi dan  juga merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Ide-ide dan kebijakan dasar  dihasilkan dalam forum ini. Anggaran dasar dan anggaran rumah  tangga,  anggaran pendapatan dan belanja, pokok-pokok program  dan ketentuan-ketentuan dasar dibuat  berdasarkan musyawarah anggota, yang selanjutnya dilaksanakan oleh pengurus  atau manajer dan pengawas. Secara sistimatis Roy (1981,426) menunjuk kekuasaan dan  tanggungjawab anggota. Sehubungan  dengan  beratnya  kewajiban  yang   harus diemban anggota, maka sistem penerimaan  keanggotaan  se-layaknya menggunakan standar minimal kualifikasi. Standar minimal  kualifikasi tersebut berhubungan dengan  tingkat minimal  pemahaman calon anggota terhadap hak, tanggung jawab dan  kewaji-ban selaku anggota. Dengan demikian memungkin-kan anggota memiliki pengetahuan yang relatif sama menge-nai organisasi dan tujuan yang hendak dicapai. Penetapan standar minimal kualifikasi  tidak bertentangan dengan  prinsip “keanggotaan terbuka” karena pada dasarnya memung-kinkan setiap orang untuk menjadi anggota,  akan tetapi  sebelum pendaftaran dilakukan setiap anggota perlu memiliki wawasan minimal sebagai anggota. Untuk keperluan itulah diperlukan pendidikan dasar bagi calon anggota. Standar minimal kualifikasi tersebut menyangkut  pemahaman dan ketertautan diri terhadap isi anggaran dasar dan ang-garan  rumah tangga serta ketentuan lain dalam organisasi. Pengurus adalah orang-orang yang dipercaya oleh rapat anggota untuk menjalankan tugas dan wewenang dalam menjalankan roda organisa-si dan usaha. Sehubungan dengan hal  itu, maka pengurus wajib melaksanakan harapan dan amanah anggota yang disampaikan dalam forum  rapat anggota. Pengurus perlu menjabarkan  kehendak anggota dalam program kerja yang lebih teknis. Pasal 30 dalam perundang-undangan yang sama telah menetapkan tugas pengurus adalah (a) mengelola koperasi dan usahanya, (b) mengajukan rancangan rencana kerja serta rancangan rencana Anggaran pendapatan dan belanja koperasi, (c) menyelengga-rakan rapat anggota, (d) mengajukan laporan keuangan dan pertang-gungjawaban pelaksanaan tugas, (e) memelihara daftar buku anggota pengurus. Selain tugas seperti di atas pengurus pun memiliki kewenangan, untuk, (a) mewakili koperasi di dalam dan di luar pengadilan, (b) memutuskan  penerimaan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar, (c) melakukan  tindakan  dan upaya  bagi  kepentingan dan kemanfaatan koperasi sesuai dengan tanggungjawabnya dan keputusan rapat anggota. Untuk terlaksananya tugas tersebut, pengurus dibantu oleh pengelola dan  karyawan lainnya. Mengenai kehadiran pengelola telah diatur dalam pasal 32, yang berisi ketentuan sebagai berikut, (a) pengurus  koperasi  dapat mengangkat pengelola dan diberi wewenang dan kuasa untuk mengelola usaha, (b) dalam  hal  pengurus  koperasi bermaksud untuk mengangkat pengelola, maka rencana pengangkatan tersebut diajukan kepada rapat anggota untuk mendapat persetujuan, (c) pengelola bertanggungjawab kepada pengurus, (d) pengelola usaha oleh  pengelola  tidak  mengurangi  tanggungjawab pengurus sebagaimana ditentukan dalam pasal 31. Pengangkatan pengelola dan  karyawan didasarkan pada tingkat kebutuhan dan tuntutan yang  diha-dapi oleh masing-masing koperasi. Pada umumnya pengangkatan sering disebabkan  karena alasan-alasan, (a) organisasi semakin besar dan kompleks, (b) biasanya pemilihan pengurus karena alasan “personality”, bukan berdasarkan keahlian, (c) masa kerja pengurus terbatas, (d) mengurus koperasi ditempatkan sebagai kerja sambilan, (d) sulit  memisahkan antara kepentingan, sebagai anggota yang menjalankan  usaha pribadi dengan kepentingan sebagai pengurus yang harus mengelola perusahaan koperasi, atau (e) kurang memiliki waktu dan keahlian. Pengelola perlu memiliki berbagai kompetensi dan sikap tertentu untuk menjalankan fungsinya. Diantaranya adalah sikap terbuka terhadap hal-hal atau penemuan-penemuan baru (inovasi) yang mendukung jalannya tugas keorganisasian dan usaha. Malahan lebih dari pada itu harus terangsang untuk mencari terobosan-terobosan baru yang belum ditemukan oleh pesaing. Sikap yang terlalu toleran terhadap cara-cara lama sampai batas tertentu akan sangat membahayakan terhadap eksistensi dan daya hidup koperasi. Hal yang harus disadari oleh pengelola hasrat anggota maupun konsumen bukan anggota selalu dalam keadaan dinamis, walau arah dinamika itu tidak selalu berjalan ke muka, tetapi mungkin akan kembali ke semula. Dengan demikian esensi inovasi dapat diklasifikasi dengan: (a) menerima dan menerapkan cara atau teknologi yang sama sekali baru, (b) memodifikasi cara atau teknologi lama sehingga terkesan baru, (c) menerapkan cara baru dari tekbologi lama. Sikap lain yang harus dimiliki pengelola hubungannya dengan usaha adalah kemampuan dalam menghimpun modal. Menarik modal, baik dari dalam maupun luar, bukanlah pekerjaan ringan mengingat hal itu sangat berhubungan dengan kepercayaan pihak anggota maupun pihak non-anggota terhadap koperasi. Memposisikan usaha yang dijalankan sebagai sarana investasi rasional merupakan tanggungjawab pengelola. Kepemimpinan  merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pengelola. Data empiris menyatakan sikap ini masih tergolong rendah di kalangan pengelola terutama KUD. Tanpa sikap ini, pengelola tidak lebih dari karyawan biasa yang menggantungkan hidup dari koperasi. Terakhir adalah kemampuan manajerial yang berhubungan dengan kebersediaan dan ketersedian pengelola untuk melaksanakan fungsi manajemen secara proporsional dan profesional sehingga apa yang dikerjakan merupakan hasil kerja yang terurut dan terukur. Pengawas  atau badan  pemeriksa  adalah  orang-orang   yang diangkat oleh forum rapat anggota untuk mengerjakan  tugas pengawasan kepada pengurus. Tiga hal penting yang diawasi dari pengurus oleh pengawas, yakni: (a) keorganisasian; (b) keusahaan; (c) keuangan. Tugas  pengawas  dalam  manajemen  koperasi  memiliki posisi strategis, mengingat secara tidak langsung, posisi-nya dapat menjadi pengaman dari ketidakjujuran, ketidaktepatan pengelolaan atau ketidakprofesionalan pengurus. Oleh sebab itu menjadi pengawas harus memiliki  per-syaratan kemampuan (kompentensi), yaitu: a) kompentensi pribadi; b) kompentensi profesional. Kompetensi pribadi menyangkut, kharisma atau kewibawaan, kejujuran dan kepemimpinan. Kompetensi pertama  ini angat ditentukan oleh personaliti yang dimiliki oleh seorang  pengawas. Kompetensi ini dapat terbentuk  secara alamiah tetapi  juga dapat  non-alamiah, misal, karena status sosial ekonomi yang dimiliki. Kompentensi profesional menyangkut  kemam-puan  teknis, seperti: akuntansi, menejerial,   menilai kelayakan  usaha  dlsb. Kompentensi  terbentuk karena pengalaman  dan pendidikan. Idealnya seorang pengawas memiliki  dua kompentensi itu  sekaligus,  tetapi pengalaman empiris membuktikan  sangat sulit mendapatkan pengawas dari kalangan  anggota dengan kualifikasi demikian. Beberapa kasus ketidakberfungsian pengawas dalam manajemen koperasi, menjadi awal dari kekisruhan dan kemunduran koperasi secara umum. Ketidak berfungsian tersebut sering disebabkan, antara lain disebabkan, (a) kurangnya motivasi dan rasa tanggung jawab, (b) tidak memahami lapangan tugas dan wewenang yang dimiliki, (c) pada beberapa kasus kurangnya perhatian rapat anggota terhadap hasil temuan pengawas. Ukuran Keberhasilan Para ahli koperasi masih belum terlihat kesepakatan pendapat  mengenai bagaimana dan apa ukuran efektivitas koperasi   yang setepatnya. Hal itu  sebagaimana diungkapkan Blumle (Dulfer dan Hamm, 1985) yakni, “ Finally let us see what  co-operative  science  has  to say, for it has been widely debating  the  problem  of  success. In current discussion  about  the  promotional task this problem is linked up  with  the  co-operative system of objectives  and  member  participation.  But  there will be disappointment in the results of this research for anybody  who  approaches with hopes and analysis of the diverse attempts  to make   the promotional maxims operational, and to measurement co-operative success.” Oleh sebab itu sampai saat ini mengukur efektivitas  koperasi  tidaklah  sesederhana mengukur  efektivitas organisasi atau  badan  usaha  lain  bukan  koperasi. Efektivitas organisasi koperasi tidak  saja semata berkenaan dengan aspek ekonomi  melainkan  juga  akan berkenaan dengan aspek sosialnya. Akan tetapi sebagai konsekuensi logis dari kondisi koperasi  yang selalu  dalam keadaan bersaing dengan organisasi lain untuk mendapatkan sumberdaya maka merumuskan keberhasilan merupakan hal yang penting. Keunggulan merupakan syarat utama untuk terlibat dalam persaingan itu. Keunggulan  yang harus dimiliki senantiasa memuat dimensi koperasi sebagai unit usaha maupun gerakan swadaya. Ketangguhan dalam dimensi gerakan swadaya sangat ditentukan oleh tingkat  keperdu-liaan anggota dalam fungsinya sebagai pemilik untuk turut dalam proses  pengembangan Koperasi. Partisipasi anggota merupakan indikator dalam konteks. Sementara dilihat dari fungsi “badan usaha” ketangguhan koperasi diukur oleh kemampuannya  dalam mengembangkan dan menguasai  pasar. Hal ini sangat ditentukan oleh kemampuan koperasi dalam meraih lebih  besar potensi yang dimiliki pasar ketimbang para pesaing. Koperasi harus mampu memberi alternatif rasional bagi pelanggannya (anggota) melalui berbagai kebijakan insentif usaha maupun perbaikan dalam teknis pelayanan pelanggan. Rumusan sederhana mengenai penjelasan di atas adalah, “Koperasi berhasil bila mampu mengembangkan usaha yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi anggota, dengan mengoptimalkan keterlibatan potensi anggota di dalam proses dan hasil usaha”. Sehubungan dengan itu Ropke (1989) berpendapat perlunya uji partisipasi (Participation-test) dan  uji pasar (Market-test) untuk mengukur keberhasilan koperasi. Kedua indikator keberhasilan bermuara pada, semakin baiknya tingkat kesejahteraan relatif anggota koperasi. Hal itu juga dikemukakan oleh Hanel (1985,76) yakni, “Advantages of cooperation and, thus,  produce  sufficient  promotional  potential  for  the benefit of the members”.

KEPUSTAKAAN

Chukwu.S.C.(1990), “Economics of The Co-operative Business Enterprise”, Marburg. Dulfer.E. (1974), “Operational Efficiency of Agricultural Cooperatives”, dalam “Developing Countries”, FAO, Rome. —————-, (eds) (1985), “Cooperation in the Clasch betwen  Member-Participation, Organization Development, and Bureaucratice Tendencies”, London Hofstede.G. (1983), “Cultural Pitfalls for Dutch Expatriates in Indonesia”, Twijnstra Gudde International Management Consutans, Deventer Netherland. —————-, (1991), “Cultures and Organization”, Maidenhead-Berkshire, McGraw-Hill Book Comapany, Europa. Munkner. Hans. (1985), “Toward Adjusted Patterns of Cooperatives in Developing Countries”,  Bonn. Ropke. Jochen (1991),“ Cooperative Entrepreneurship”, Marburg. ?

 

Share this

Leave a Reply

Your email address will not be published.