Hari Jumat (21/01) kemarin, dalam sebuah kesempatan memberikan pembekalan dihadapan jajaran TNI-Polri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan sebuah wejangan menarik bagi para petinggi TNI-Polri. Menurutnya, saat ini pemerintah tidak pernah main-main dalam meningkatkan kesejahteraan prajurit dan anggota TNI-Polri, buktinya adalah lewat remunerasi. Tak lupa SBY mencontohkan bahwa dirinya hingga memasuki tahun ke-tujuh duduk di kursi presiden mengaku tidak pernah mendapatkan kenaikan gaji. [caption id="" align="alignright" width="358" caption="Kemiskinan"][/caption] “Bahkan ini tahun ke-6 atau ke-7 gaji Pesiden belum naik,” kata Presiden di depan jajaran petinggi Mabes TNI dan Mabes Polri. Sontak pernyataan tersebut mendapat sambutan tawa dari hadirin sekaligus sambutan hangat dari kalangan media. Ternyata pernyataan dan ‘teladan’ yang diberikan oleh SBY tersebut menjadi gunjingan dan memicu kecaman keras, pasalnya perkataan tersebut merupakan pengulangan dari beberapa peristiwa sebelumnya. Di kalangan masyarakat kerap muncul stigma bahwa SBY adalah Presiden RI yang ‘rajin’ curhat melalui berbagai pernyataan maupun pidatonya. Bagaimana kesan yang Anda dapatkan? Tiap orang pasti memiliki kesan tersendiri dari berbagai ‘curhatan’ atau pernyataan presiden tersebut. Sekarang mari kita saksikan fakta dibalik gaji presiden RI yang tidak pernah naik selama 7 tahun ini. Berdasarkan situs resmi SBY yakni www.presidensby.info, gaji Presiden Indonesia adalah Rp 62.497.800 per bulan. Ini merupakan data Januari 2006. Namun, SBY sebenarnya tidak hanya diberi gaji oleh negara. Sebagai pemimpin di negeri ini, ia mendapat dana operasional atau taktis Rp 2 miliar per bulannya. Jumlah ini tentu saja tidak bisa dibilang kecil. Untuk ukuran Presiden, gaji SBY mungkin terbilang kecil. Namun, berdasarkan majalah bergengsi asal Inggris, The Economist, gaji SBY sesungguhnya 28 kali lipat dari pendapatan per kapita rakyat Indonesia. Sedangkan di China, gaji Perdana Menteri Wen Jia bao hanya sekitar 2,5 kali lipat dari pendapatan per kapita penduduknya. Ini merupakan survei The Economist tahun 2010 lalu. Mari kita tinggalkan fakta yang menarik tadi, kita beralih pada isu sebelumnya. Mengenai pemerintah melakukan pembohongan publik – demikian yang dirilis beberapa media di negeri ini – setelah sebelumnya terjadi pertemuan dengan kalangan rohaniwan Indonesia. Para pemimpin agama negeri ini menyoroti adanya kesenjangan antara pernyataan dengan realitas, yang diungkapkan SBY maupun pemerintahan RI. Namun, SBY sepertinya kebal dengan kritik. Ia tetap tidak terima telah dituduh berbohong. Ia lebih memilih membantah daripada memperbaiki diri. Buktinya adalah pernyataan tentang gaji yang tak kunjung naik tersebut. Apa yang tidak diungkapkan oleh pernyataan presiden SBY adalah bahwa gajinya berada jauh di atas rata-rata penduduk Indonesia yakni 28 kali lipat dari pendapatan per kapita rakyat Indonesia. Bohong atau tidak, semua terserah pendapat Anda. Direktur Lembaga Studi Islam dan Kebudayaan (LSIK) Umar Hamdani sangat menyayangkan hal tersebut. Menurut Umar, presiden tidak memiliki sensitifitas atas derita jutaan rakyatnya yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. “Presiden itu seharusnya malu mengutarakan gaji yang tak kunjung naik di tengah kemiskinan rakyatnya. Kalau memang SBY mau mengabdi untuk bangsanya, seharusnya tak perlu digaji atau gajinya diberikan saja pada fakir miskin,” ungkap Umar Hamdani. Umar Hamdani juga melihat, keluhan itu tidak pada tempatnya sebab Indonesia kini mengalami situasi darurat pangan, korupsi yang kronis dan meluas, ada banyak orang bunuh diri, dan lebih dari 100 juta orang miskin menurut data World Bank dengan angka pengeluaran 2 dollar AS/hari. Faktanya adalah sbb: Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan di Maret 2010 turun ke angka 31,02 juta jiwa atau sekitar 13,33 persen dari total penduduk Indonesia. Namun, penurunannya jauh lebih kecil daripada penurunan angka kemiskinan antara Maret 2008 ke Maret 2009. Demikian diutarakan Kepala BPS Rusman pada bulan Juli 2010. Selanjutnya data menunjukkan bahwa penurunan angka kemiskinan yang lebih tinggi tercatat di perkotaan, yaitu sebesar 0,81 juta jiwa daripada di pedesaan sebesar 0,69 juta jiwa. Selama periode Maret 2009-Maret 2010, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta, dari 11,91 juta pada Maret 2009 menjadi 11,10 juta pada Maret 2010. Sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang, dari 20,62 juta pada Maret 2009 menjadi 19,93 juta pada Maret 2010. Terjadi ketimpangan ini membuktikan satu hal bahwa terjadi ketimpangan pemerataan kesejahteraan rakyat. Tapi kita tidak membahas itu lebih mendalam. Pemerintahan SBY memang tidak berpangkutangan terhadap kesejahteraan rakyat dan juga upaya untuk terus menurunkan angka kemiskinan ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sering mengatakan bahwa penanganan kemiskinan dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus dilakukan secara sistematis, terencana dan berkelanjutan. Presiden SBY juga mengemukakan konsep pengentasan kemiskinannya yang biasa diistilahkannya dalam tiga kata bahasa Inggris: pro-growth (pro-pertumbuhan), pro-job (pro-lapangan-kerja), dan pro-poor (pro-rakyat-miskin). Konsep Presiden ini juga sudah tidak asing lagi dan telah berulangkali diangkatnya dalam berbagai kesempatan, terakhir dalam pidato menyambut 17 Agustus 2010 lalu. Upaya pengentasan kemiskinan di bawah pemerintahan SBY sepertinya belum pernah diterapkan secara sungguh-sungguh. Program-program seperti BLT dan bahkan PNPM Mandiri hanya diposisikan sebagai obat penawar sementara untuk kepahitan kebijakan ekonomi neoliberal seperti pencabutan subsidi. [caption id="" align="alignright" width="261" caption="Kemiskinan"][/caption] SBY mengidentifikasi terdapatnya berbagai “bottleneck” (leher botol atau kemacetan atau hambatan), yakni korupsi, yang menghambat kemajuan Indonesia. Komentar ini cukup jenaka karena keluar di saat kasus Gayus dan ratusan kasus korupsi yang masih belum jelas penanganannya. Maka sungguhlah memprihatinkan ketika pemerintah mengangkat wacana gaji yang tak kunjung naik jika kita juga melihat realitas upaya pengentasan kemiskinan dan berbagai rencana-rencana kebijakan yang manis dan indah yang realisasinya di lapangan tidak jelas. Pengentasan kemiskinan sendiri ada dalam 11 prioritas pembangunan yang diutarakan pemerintahan SBY. Penanggulangan kemiskinan masuk prioritas keempat setelah reformasi birokorasi dan tata kelola, pendidikan, serta kesehatan. SBY membantah telah mengeluarkan pernyataan bahwa kemiskinan di Indonesia telah hilang. Menurutnya, kemiskinan telah berkurang secara sistematis meski masih saja ada kantung-kantung kemiskinan. Jelas dengan adanya data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat angka kemiskinan 31,02 juta jiwa pasti ada daerah (kantung) kemiskinan. Kebiasaan SBY yang tidak membeberkan seluruh fakta secara apa adanya tentunya akan berdampak buruk. Apalagi jika SBY selalu mengutarakan hal-hal yang seharusnya bukan untuk konsumsi publik. Ada banyak orang yang sakit hati mendengarkan curhat presiden tentang gaji. Apalagi jika terdapat selisih 28 kali dari pendapatan rakyatnya. (Rn/berbagai sumber) Sumber: CBN
http://portal.cbn.net.id/cbprtl/Cybernews/detail.aspx?x=Hot+Topic&y=Cybernews|0|0|3|320