Badan hukum Koperasi Syariah (KS) baru dikenal di Aceh tahun 2000. Waktu itu, Baitul Qiradh (BQ) yang tidak berbadan hukum dan hanya mendapat izin operasional dari Pinbuk, mulai menggunakan KS sebagai badan hukum.
BQ Baiturrahman misalnya, baru berbadan hukum KS tahun 2001, padahal operasionalnya dimulai sejak akhir 1995. Ada juga BQ lain yang sejak awal operasional telah berbadan hukum koperasi konvensional, tapi hanya satu dua BQ saja.
Pertanyaannya, mengapa harus memilih badan hukum KS? Apa kelebihannya? Dan, apa pula maknanya bagi gerakan ekonomi rakyat di Aceh.
Pada awal kehadiran BQ di Aceh (1995), para penggagas dan pekerja BQ sangat alergi menggunakan badan hukum koperasi, karena citra koperasi yang buruk di mata masyarakat. Yang masyarakat tahu, hanya kegagalan dan perkoncoan koperasi dengan kekuasaan, sementara masyarakat tak tahu kesuksesan koperasi. Mungkin, persepsi ini agak membaik pasca Orde Baru. Persepsi BQ terhadap koperasi mulai berubah sejak reformasi (1998) dan diizinkannya penggunaan badan hukum KS.
Jadi, yang pertama kali menggunakan badan hukum KS di Aceh adalah BQ. Hal ini dilakukan karena, pertama, kebutuhan BQ untuk mendapatkan legitimasi hukum. Kedua, BQ tak pelu lagi perubahan sistem operasional akibat berbadan hukum KS, karena sejak awal telah beroperasi sesuai prinsip-prinsip ekonomi syariah. Ketiga, dipengaruhi oleh keberadaan Adisasono sebagai Menkop dan UKM, waktu itu. Adisasono merupakan salah seorang elit ICMI dan pendukung utama gerakan QB/BMT di Indonesia.
Dampak dari regulasi koperasi yang membolehkan badan hukum KS, komponen masyarakat lainnya juga menggunakan badan hukum ini. Pilihan terhadap badan hukum KS mendapatkan momentum sejak formalisasi syariat Islam di Aceh (2002) dan pengaruh rehab rekon Aceh pasca tsunami. Pengaruh rehab rekon karena kebijakan BRR yang mengutamakan pengembangan ekonomi rakyat pola syariah. BRR memprioritaskan pengembangan lembaga keuangan mikro syariah, termasuk BQ. Akibatnya, banyak pihak menggunakan peluang ini dengan mengurus badan hukum KS, terlepas apakah telah benar-benar beroperasi sesuai syariah atau tidak.
Lalu, apa kelebihan KS dibandingkan Koperasi Konvensional (KK)? Yang pasti, secara syariah KS tak lagi mempraktekkan sistem riba yang dilarang syariat Islam.
Kemudian, kelebihan KS dapat menjadi bagian dari agenda pelaksanaan syariah Islam di Aceh. Dari 13 aspek syariat Islam kaffah salah satunya adalah muamalah. Aspek terakhir ini, masih kurang mendapat perhatian pemerintah. Untuk itu, seharusnya Pemerintahan Aceh, mengagendakan penguatan KS. Kalau perlu, seluruh KK di Aceh “disyariahkan”. Hanya tersisa KK yang dikelola oleh non muslim.
KS juga dapat membantu dalam mempercepat perbaikan citra gerakan koperasi. Tentu, yang harus diperhatikan, praktek KS benar-benar sesuai dengan ruh ekonomi Islam yang mengutamakan etika ekonomi, menghindari monopoli, transparan, tak ada manipulasi, dan menghindari perkoncoan kelompok dan merugikan pihak lain. KS harus memperhatikan karakteristik kopersi sebagai sokoguru ekonomi rakyat. Kedaulatan koperasi benar-benar berada di tangan anggota. Bukan melayani kepentingan elite koperasi. Perbaikan citra koperasi juga akan berdampak positif terhadap kinerja dinas yang mengurus koperasi.
Kehadiran KS akan sangat bermakna dalam pemberdayaan ekonomi rakyat Aceh yang mayoritas Islam.
Pemberdayaan ekonomi rakyat haruslah diarahkan pada upaya membangun keadilan dan kesejateraan rakyat yang berbasis syariah. Hal ini dilakukan sebagai wujud implementasi UUPA yang mengharuskan dilaksanakannya prinsip-prinsip ekonomi Islam dalam setiap kegiatan ekonomi. Selai itu, untuk memberi harapan kepada masyarakat, bahwa syariat Islam (baca: ekonomi Islam) ternyata dapat menjadi solusi bagi kebangkitan ekonomi kerakyatan di Aceh.
Tantangannya adalah, kualitas SDM Aceh yang masih rendah. Untuk itu, pemberdayaan ekonomi harus dilakukan berbarengan dengan penguatan SDM. Jika Aceh sudah memiliki SDM yang lumayan dalam menggerakkan perbankan syariah dan simpan pinjam syariah, maka harus segera diupayakan penguatan SDM untuk sektor lain, seperti multi level merketing syariah, pegadaian syariah, asuransi syariah, pembiayaan syariah, perhotelen syariah, marketing syariah, akuntansi syariah dan sector ril lainnya.
Kita bersyukur, beberapa perguruan tinggi telah membuka jurusan muamalah, ekonomi syariah dan juga jurusan perbankan syariah. Saya yakin, SDM alumni perguruan tinggi ini akan habis tertampung di pasar kerja.
Semoga kehadiran KS tidak hanya sebagai sebagai respon terhadap trend dan merebut peluang yang ada, tapi hendaknya menjadi pilihan sadar terhadap upaya mempraktekkan muamalah dan sitem ekonomi yang sesuai dengan syariat Islam. Wajar saja jika pemerintah dan rakyat Aceh memberi apresiaasi dan dukungan terhadap upaya islamisasi koperasi ini, yaitu melakukan transformasi KK menjadi KS. Semoga ide ini cukup rasional dan praktis dilaksanakan.