Biaya Provisi, Riba?

Artikel BMT
Agung Supriyanto asupriyanto@geosains.com Wa’alaikumussalam wr. wb. Sahabat penanya yang baik, lembaga koperasi syariah merupakan salah satu bentuk koperasi yang operasionalnya sesuai dengan syariah Islam. Sebelumnya, pengasuh ingin menjelaskan kembali bahwa operasional lembaga keuangan syariah (LKS), baik itu bank syariah, asuransi syariah, koperasi syariah, pegadaian syariah dan reksadana syariah atau yang lainnya, harus memenuhi tiga kriteria sebagai berikut; (i) terbebas dari riba atau bunga, (ii) menggiatkan praktek jual-beli, dan (iii) mempraktekkan bagi hasil. Riba sendiri dapat dibagi menjadi dua, yaitu riba nasi’ah dan riba fadl. Riba nasi’ah adalah bentuk riba yang dapat masuk pada transaksi pinjam-meminjam.Riba ini merupakan tambahan dari pokok. Jika uang yang dipinjam jumlahnya Rp.100 ribu, kemudian disepakati adanya tambahan dalam pembayaran sebesar Rp.5000, maka praktek ini termasuk dalam kategiri riba nasi’ah. Sedangkan, riba fadl adalah bentuk riba yang dapat masuk pada transaksi jual-beli. Praktek riba fadl pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dalam bentuk transaksi pertukaran emas atau perak yang takarannya tidak sama. Adapun contoh kasus di atas, memberikan gambaran adanya pengurangan jumlah pinjaman yang diinginkan oleh anggota koperasi. Jumlah uang pinjaman yang dikurangi tersebut masuk menjadi keuntungan bagi pihak koperasi. Hal ini, sama halnya dengan tambahan yang terjadi pada praktek riba nasi’ah. Karena, adanya ketidaksamaan antara jumlah uang yang diterima dengan jumlah uang yang harus dikembalikan. Prinsip pinjam-meminjam (qard) dalam hukum Islam, menegaskan adanya kesamaan antara jumlah uang yang dipinjam dengan jumlah uang yang dikembalikan. Jika, terjadi selisih maka masuk dalam kategori riba. Pengasuh melihat, bahwa praktek biaya provisi di atas, awalnya dimaksudkan agar terhindar dari adanya tambahan yang termasuk dalam riba nasi’ah. Tetapi, dilihat dari sisi subtansi, praktek biaya provisi tersebut, sama dengan praktek adanya tambahan (ziyadah) dalam pinjaman. Karena, anggota koperasi yang meminjam uang jumlahnya tidak sama dengan beban hutang yang harus ia bayarkan. Beban hutangnya tetap lebih besar dari total uang yang diterima. Sahabat Agung, dari sisi operasional, praktek simpan pinjam pada koperasi syariah tidak menjanjikan adanya keuntungan. Karena prinsip dasar pinjaman dalam Islam tidak menghendaki adanya tambahan (ziyadah). Oleh karena itu, pengasuh sarankan jika ingin mendirikan koperasi hendaknya bukan koperasi simpan pinjam, karena tidak menguntungkan. Tetapi, dalam bentuk koperasi serba usaha (KSU) yang operasionalnya dapat mempraktekkan transaksi jual beli (ba’i) ataupun bagi hasil (mudharabah). Dibanding dengan koperasi simpan pinjam (KSP), koperasi serba usaha dapat bergerak lebih lincah dan dimungkinkan untuk mempraktekkan kaedah-kaedah transaksi syariah lainnya, semisal sewa menyewa (ijarah), gadai (rahn), penjaminan (kafalah) dan perwakilan (wakalah). Hal ini akan selaras dengan prinsip dasar operasional lembaga keuangan syariah (LKS) seperti yang sudah disebutkan di atas. Karena praktek riba atau bunga dilarang, maka lembaga keuangan syariah, termasuk didalamnya koperasi syariah, dapat memperbanyak transaksi yang mengacu pada prinsip jual beli (ba’i) ataupun bagi hasil (mudharabah). Praktek ini hanya dapat dijalankan oleh koperasi serba usaha (KSU) yang varian usahanya lebih banyak dibanding dengan koperasi simpan pinjam. Jelasmya, dengan mempraktekkan jual-beli atau bagi hasil, koperasi syariah akan diarahkan pada kegiatan operasional yang cenderung memperoleh keuntungan (ribh). Posted by: fatiaali | Juli 28, 2008

Software BMT Free Download…!

Share this

Leave a Reply

Your email address will not be published.